Dalam konteks Cianjur, ruang ini dapat diwujudkan melalui program-program yang menyelaraskan tradisi lokal dengan kebutuhan modern, seperti mendukung pelestarian seni dan budaya Sunda serta mendorong pendidikan berbasis teknologi dan inovasi ekonomi berkelanjutan yang diimbangi dengan kepedulian pada akar dan tradisi.
Menurut saya, pemimpin Cianjur hari ini menghadapi tantangan besar: bagaimana mempertahankan nilai-nilai lokal sembari menjawab kebutuhan modern. Tradisi kasepuhan, seperti yang diwariskan oleh Dalem Pancaniti, menawarkan nilai moral yang kuat, tetapi pemimpin juga harus mampu memberikan solusi konkret atas masalah-masalah kontemporer, seperti lapangan kerja, pelayanan publik, dan pemerataan pembangunan.
Pada situasi ini, simbol-simbol tradisional dapat menjadi alat yang kuat untuk menciptakan legitimasi politik. Namun, seperti yang diingatkan oleh Martin van Bruinessen dalam bukunya "Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat," simbol tidak akan bermakna jika tidak dihidupkan melalui kebijakan yang relevan dan inklusif.
Atas dasar itulah, seperti diungkapkan Clifford Geertz, dalam bukunya "The Interpretation of Cultures," bahwa politik sering dipahami sebagai ritual. Pemimpin adalah dalang yang memainkan perannya dalam menjaga keseimbangan sosial.
Di Cianjur, konsep ini tetap relevan. Pilkada tidak hanya menjadi kompetisi politik, tetapi juga ritual besar di mana rakyat mencari pemimpin yang dapat menjadi penuntun mereka. Namun, ritual ini akan kehilangan maknanya jika hanya berhenti pada simbol. Pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu menjadikan simbol itu hidup, yang mampu menerjemahkan nilai-nilai dalam tradisi ke dalam tindakan nyata.
Editor : Ude D Gunadi
Artikel Terkait