Seperti di banyak tempat di Jawa, politik di Cianjur tidak hanya bergerak di ranah formal, tetapi juga sarat dengan simbol dan nilai-nilai tradisi. Benedict Anderson, dalam bukunya "Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia," menyebut bahwa kekuasaan di Jawa dipahami sebagai pusat keseimbangan.
Pemimpin ideal adalah mereka yang mampu menjaga harmoni antara rakyat, alam, dan nilai-nilai spiritual. Di Pilkada Cianjur, simbolisme ini sepatutnya hadir dalam narasi-narasi kerakyatan yang diusung oleh para kandidat. Bukankah mereka terlalu sering berbicara tentang rakyat kecil, menyoroti pentingnya kesejahteraan, dan mempromosikan program yang terhubung dengan kebutuhan masyarakat?
Namun, simbol-simbol dan ucapan itu bisa jadi lebih bermakna jika diwujudkan dalam tindakan nyata. Sebab pemimpin yang baik bukan hanya mereka yang mampu berbicara, tetapi juga yang mampu merealisasikan janji-janji yang dilontarkan dari mulutnya, termasuk dari mulut para tim suksesnya.
Harapan dan Realitas
Di tengah dinamika politik modern, narasi kerakyatan selalu menjadi senjata utama dalam Pilkada. Kandidat berlomba-lomba menunjukkan kedekatan mereka dengan masyarakat kecil, menjanjikan perubahan, pembangunan, dan kehidupan yang lebih baik. Namun, apakah semua itu benar-benar memiliki substansi? Hannah Arendt, dalam bukunya "The Human Condition," mengingatkan bahwa kekuasaan sejati berasal dari kemampuan untuk mendengarkan dan menciptakan ruang dialog.
Editor : Ude D Gunadi
Artikel Terkait