BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Kasus dugaan tambang emas ilegal yang dilakukan warga negara China, Yu Hao, di Ketapang, Kalimantan Barat (Kalbar), mencuri perhatian publik setelah Pengadilan Tinggi (PT) Pontianak membebaskan terdakwa dari seluruh tuduhan.
Padahal sebelum Pengadilan Tinggi Pontianak membebaskan terdakwa Yu Hao, Pengadilan Negeri (PN) Ketapang menjatuhkan vonis hukuman penjara 3,5 tahun dan denda Rp30 miliar.
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) Iskandar Sitorus mengatakan, dan putusan bebas itu memunculkan banyak pertanyaan di masyarakat. Kasus tersebut patut dicermati lebih lanjut, terutama karena ada dugaan ketidaksempurnaan dalam penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Ditjen Minerba Kementerian ESDM, dan proses penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
"Yu Hao didakwa merugikan negara hingga Rp1,02 triliun, tetapi tidak ada bukti fisik seperti hasil tambang emas, alur transaksi hasil penambangan, atau keterlibatan pihak lain sebagai penadah yang dapat meyakinkan hakim dan publik," kata Iskandar dalam sebuah diskusi di Kota Bandung, Jumat (31/1/2025).
Iskandar menyatakan, dalam putusan PN Ketapang dan PT Pontianak terungkap PT SRM menguasai area tambang sejak akhir Juli hingga awal Desember 2023, yang melibatkan pihak lain di luar Yu Hao.
Menurut Iskandar, bukti dari JPU yang menunjukkan kerugian negara hanyalah Laporan Estimasi Cadangan Emas, bukan laporan kerugian negara secara valid seperti disusun BPK atau BPKP.
"Kok bisa Laporan Estimasi Cadangan dianggap sebagai nilai kerugian negara? Penyidik apa itu? Mau melawan kewenangan institusi BPK dan BPKP?" ujar Iskandar.
Iskandar mempertanyakan mengapa penyidik hanya memfokuskan perhatian pada Yu Hao, tanpa menggali lebih dalam tentang peran PT SRM dan pihak lain yang terlibat dalam penguasaan area tambang.
Menurut Iskandar, hal tersebut menunjukkan kurangnya kemampuan Kementerian ESDM dalam mengawasi dan menelusuri perilaku korporasi tambang.
“Jika tuduhan itu benar, mengapa hanya personal yang disidik PPNS ESDM? Apa bisa satu orang saja menambang emas? Apakah kemampuan kementerian yang dipimpin Bahlil Lahadalia memang hanya sedangkal itu untuk menyelidiki perilaku korporasi tambang?" tuturnya.
Idealnya, kata Iskandar, Menteri ESDM bersama Korwas PPNS Mabes Polri dan Kompolnas sesegera saja dengan teliti melakukan asesmen terhadap proses-proses penyidikan tersebut, agar publik mengetahui informasi yang sesungguhnya. Sehingga tidak terjadi bias informasi ditengah-tengah publik.
Iskandar menilai, JPU tampak lebih mengandalkan pendekatan hukum tidak lazim dibandingkan pada bukti konkret.
“Sudah seharusnya Jamwas Kejagung dan Komisi Kejaksaan sesegera mengaudit kinerja JPU dalam kasus itu karena berpotensi ciptakan benturan antar institusi PPNS, Polri, Kejaksaan dan Mahkamah Agung (MA),” ucap Iskandar.
Dalam analisa Iskandar, putusan Pengadilan Tinggi Pontianak yang bebaskan Yu Hao dilandasi pada penilaian tidak ada bukti kuat untuk menunjukkan keterlibatan terdakwa dalam tambang ilegal.
“Putusan ini, menurut analisis kami, adalah langkah penting untuk meluruskan dugaan bahwa ada proses hukum yang keliru pada kasus itu,” kata Iskandar.
Kendati demikian, Iskandar tetap mendorong Komisi Yudisial (KY) untuk mengawasi kasus tersebut lebih dalam.
“Keadilan bukan hanya soal menghukum seseorang, tetapi memastikan proses hukum berjalan sesuai aturan,” ujarnya, sambil mengingatkan pentingnya edukasi publik agar memahami sisi esensial dari kasus itu.
Kejaksaan Negeri Ketapang telah mengajukan kasasi ke MA atas putusan bebas tersebut. Namun, Iskandar menyarankan agar kejaksaan harus terlebih dahulu mengevaluasi bukti secara menyeluruh sebelum melanjutkan kasasi.
“Tanpa bukti baru yang signifikan, kasasi itu hanya akan memperpanjang ketidakpastian hukum dan membebani sistem peradilan. Akan bisa saling merugikan reputasi diantara Kementerian ESDM, Polri, Kejaksaan dan MA,” tuturnya.
Iskandar menekankan, kasus tersebut menjadi pengingat pentingnya profesionalisme dalam penegakan hukum. Penyidik harus riel memastikan bukti yang relevan dan kuat, sementara JPU wajib obyektif dan transparan dalam menyusun dakwaan.
“Untungnya, putusan itu bisa menunjukkan bahwa ternyata mekanisme peradilan dapat meluruskan dugaan kesalahan proses hukum meskipun putusan terkesan melawan opini publik," ucap Iskandar.
"Harapan kami, semoga publik bisa lebih kritis dan cerdik dalam memahami setiap proses hukum, bukan hanya hasil akhirnya. Dalam sistem hukum pidana, prinsip "lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang tidak bersalah" harus dipegang teguh,” tandasnya.
Editor : Agus Warsudi
Artikel Terkait