Soal Penyegelan Objek Wisata, Ketua FPHJ Dorong DPRD Jabar Awasi Sepak Terjang Gubernur

Adi Haryanto
Ketua Forum Penyelamat Hutan Jawa Eka Santosa (kanan duduk) meminta DPRD Jawa Barat mengawasi kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dalam menyegel tempat wisata agar jangan salah kaprah Foto/Istimewa

BANDUNG,iNews BandungRaya.id - DPRD Jawa Barat harus mengawasi sepak terjang Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dalam penyegelan tempat wisata.

Jangan sampai apa yang dilakukan tergesa-gesa dan salah kaprah akibat tidak mengindahkan aturan yang berlaku. Sebab dikhawatirkan jadi bumerang dan mempermalukan wajah Pemprov Jabar ketika aturan penyegelan dilabrak.

Ketua Forum Penyelamat Hutan Jawa (FPHJ) Eka Santosa mengatakan, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi harus berani juga menertibkan lokasi wisata yang tidak berizin. Mengingat selama ini yang dipermasalahkan justru tempat-tempatvwisata yang sudah berizin.

"DPRD Jabar mestinya menjalankan fungsinya sebagai pengawas kinerja gubernur, apakah penyegelan tempat-tempat wisata itu sudah sesuai peraturan tentang tata kelola pemerintahan atau tidak," ucapnya, Senin (21/4/2025).

Sebagai aktivis lingkungan, Eka Santosa yang diundang dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan DPRD Jabar terkait penyegelan tempat wisata, sangat mendukung semangat KDM (Kang Dedi Mulyadi) dalam upaya penyelamatan lingkungan.

Hanya saja upaya tersebut jangan dilakukan secara tebang pilih dan tidak dilandaskan aturan yang ada. DPRD harus aktif mengawasi kinerja eksekutif dalam hal ini gubernur.

Misalnya saat Gubernur Dedi Mulyadi menyegel tempat wisata di Kabupaten Bandung Barat. Saat itu Satpol PP Jabar sempat menyegel lokasi wisata menggunakan  Perda Ketertiban Umum yang biasa digunakan bagi pelanggar pedagang kaki lima. Hingga pada akhirnya diganti lagi oleh Dinas Lingkungan Hidup Jabar.

"Itu kan artinya tindakan Dedi Mulyadi terkesan terburu-buru tanpa koordinasi terlebih dahulu dengan dinas terkait. Tindakan seperti ini yang memang perlu pengawasan dari DPRD Jabar, " ucapnya.

Mantan Ketua DPRD Jawa Barat ini juga mengingatkan salah satu pimpinan DPRD Jabar Ono Surono yang memposting di TikTok tentang dua perbedaan pendapat dirinya sebagai Ketua FPHJ dengan perwakilan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup).

Postingan Ono tidak mencerminkan garis besar tentang rapat dengar pendapat (RDP) mengenai tindakan gubernur dalam menyegel tempat wisata di Puncak, Bogor, dan KBB.

"Yang ingin FPHJ luruskan adalah opini yang dibangun oleh pihak tertentu yang terkesan seperti kita tidak setuju atas langkah penertiban masalah Tata Ruang dan Alih Fungsi Lahan. Padahal yang kita kritisi tentang cara dan tindakan gubernur yang tidak sesuai dengan ketentuan", tuturnya.

FPHJ tidak pernah berurusan dengan para pengusaha tersebut, bahkan kenal pun tidak. Justru sebaliknya yang diketahui pihaknya adalah, WALHI jadi bagian pemberi rekomendasi dalam Amdal sehingga terbit izin dari pemerintah daerah.

"FPHJ sangat berkepentingan dan ingin tahu Sikap DPRD Jabar terhadap apa yang di lakukan gubernur karena menyangkut tentang Tata kelola Pemerintahan dan DPRD Jabar punya hak dan kewajiban mengawasi kinerja gubernur," tandasnya.

Adanya sikap WALHI tersebut, Eka pun menyebut mereka mencla mencle. Sebab di sisi lain memberikan persetujuan Amdal sehingga izin dari Pemda KBB dikeluarkan. Tapi di sisi lain justru mendukung penyegelan yang dilakukan oleh Gubernur Dedi Mulyadi.

"Ada banyak pihak yang diundang saat proses pembuatan izin di Pemda KBB dalam pembahasan Amdal salah satunya WALHI. Lah sekarang, saat tempat yang sudah berizin itu kemudian disegel Dedi Mulyadi, WALHI justru mendukung dan merasa paling terdepan untuk menyalahkan pengusaha karena telah melanggar ketentuan lingkungan. Itu kan namanya mencla-mencle," timpalnya.

Berbeda dengan FPHJ, kata Eka, kedatangan pihaknya ke RDP di DPRD Jabar tujuannya memang meminta agar DPRD sesuai tupoksinya melihat tindakan gubernur dalam konteks tata kelola pemerintahan.

Dikatakannya, setiap kebijakan publik, apalagi yang menyangkut tata ruang dan lingkungan, harus tunduk pada asas transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat.

Contohnya, Eka menyinggung soal Pergub (Peraturan Gubernur) dan tindakan administratif lain yang telah dikeluarkan, namun tanpa koordinasi yang jelas atau justifikasi kuat terhadap peraturan di atasnya.

“Saya melihat ini tadi ada Pergub Nomor 11/2025, tapi kan setelah ada tindakan penyegelan. Artinya, bahwa kebijakan yang dibuat justru lahir dari reaksi terhadap peristiwa, bukan dari perencanaan sistematis," terangnya.

Dia juga menggaris bawahi bahwa dalam beberapa kasus, kegiatan usaha seperti di kawasan perkebunan dilakukan oleh institusi yang tidak berada di bawah pengawasan gubernur.

"Alhasil perlu ada pelurusan jalur koordinasi dan penegakan hukum, agar ada kepastian hukum dan kepastian berusaha  di jawa barat,"  tandasnya. (*)

Editor : Rizki Maulana

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network