CIANJUR, iNewsBandungRaya.id - Suara rintik hujan malam itu terdengar seperti bisikan masa lalu. Panggung terbuka di ALOHA Chill & Dine, Cianjur, perlahan menjadi altar kesaksian.
Di hadapan ratusan penonton yang larut dalam suasana remang dan rembesan cahaya, seorang perempuan berkebaya merah berdiri sendiri, namun suaranya menggema seolah mewakili ratusan nyai yang hilang dari catatan sejarah.
“Kesaksian Nyai Apun Gencay”, sebuah monolog yang diadaptasi dari novel "Cinta, Kopi, dan Kekuasaan" karya Saep Lukman, bukan sekadar pementasan.
Ia adalah penggalian ingatan yang menyayat sekaligus menghidupkan, menyuarakan kembali tokoh-tokoh perempuan yang selama ini tercecer dalam lembaran sejarah kolonial.
Wina Rezky Agustina, dosen Universitas Suryakancana (Unsur) Cianjur dan lulusan pascasarjana program studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, memainkan peran Apun Gencay dengan kedalaman rasa yang penuh eksotik dan menghunjam. Tubuhnya bergerak dalam ritme emosi, suaranya bergetar menahan perih, sesekali membuncah dalam keberanian.
Di balik naskah yang ditulis dengan cermat oleh Wida Waridah dan disutradarai dengan penuh heroik oleh Rachman Sabur, monolog ini menjelma sebagai ritual kesadaran. Bukan hanya seni, tapi perlawanan. Bukan sekadar panggung, tapi altar kesaksian yang mengguncang sejarah Cianjur.
Rachman Sabur adalah sutradara kawakan pendiri Teater Payung Hitam yang sejak 1982 konsisten menggali bahasa tubuh, napas, dan simbol sebagai bahasa teater perlawanan. Lahir di Bandung, 12 September 1957, Rachman dikenal lewat karya-karya eksperimental, seperti "Kaspar dan Merah Bolong Putih Doblong Hitam:, serta kiprahnya di panggung internasional.
Setelah pensiun dari ISBI Bandung, Rachman tetap aktif berkarya. Dalam perayaan 43 tahun "Payung Hitam", dia menulis dan menyutradarai monolog “Wawancara dengan Mulyono”, sebuah satire absurd tentang identitas dan kuasa.
Editor : Agus Warsudi
Artikel Terkait