BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Praktik rangkap jabatan wakil menteri sebagai komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan bentuk pengabaian terhadap etika konstitusional dan prinsip-prinsip dasar tata kelola negara.
Selain mengaburkan semangat reformasi birokrasi yang digaungkan Presiden Prabowo Subianto, manuver tersebut juga secara terang-terangan mengingkari substansi pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah memberikan batasan etis dan normatif.
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menyatakan, mempertahankan rangkap jabatan di tengah semangat efisiensi birokrasi justru melemahkan kebijakan presiden sendiri.
“Di tengah semangat efisiensi birokrasi yang digaungkan Presiden Prabowo, justru muncul manuver politik yang berpotensi mempermalukan arah kebijakan beliau, yakni mempertahankan jabatan rangkap wakil menteri sebagai komisaris BUMN,” ujar Iskandar dalam pernyataannya, Jumat (25/7/2025).
Iskandar juga menanggapi dalih hukum yang membolehkan rangkap jabatan tersebut karena tidak termasuk dalam amar putusan MK. Ia menyebut pembenaran seperti itu sebagai bentuk kekeliruan dalam menafsirkan etika konstitusional.
“Padahal, publik paham bahwa efisiensi sejati bukan sekadar hemat anggaran, tapi juga soal moralitas tata kelola. Jika jabatan komisaris hanya dijadikan ‘gaji tambahan’ bagi pejabat, lalu di mana letak teladan yang ingin ditunjukkan?” tegasnya.
Lebih lanjut, Iskandar mengkritik tajam narasi yang menyebut pertimbangan Mahkamah Konstitusi tidak mengikat. Menurutnya, pemikiran seperti itu hanya akan menggerus wibawa konstitusi dan mengesankan bahwa hukum hanya ditaati ketika bersifat eksplisit.
“Padahal, sejarah membuktikan bahwa negara ini sudah berkali-kali mengikuti pertimbangan MK tanpa harus menunggu amar yang tegas,” katanya.
Untuk memperkuat pandangannya, Iskandar merinci lima putusan MK yang menunjukkan betapa kuatnya daya normatif pertimbangan MK dalam mempengaruhi kebijakan teknis pemerintahan:
Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 tentang Hutan Adat → melahirkan Permendagri No. 52/2014 dan PermenLHK No. 21/2019.
Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 tentang UU Cipta Kerja → memicu lahirnya UU No. 6/2023.
Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tentang Anak Luar Nikah → memicu SEMA No. 3/2018 dari MA.
Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013 tentang Masa Jabatan Kepala Daerah → dasar PKPU No. 6/2015.
Putusan MK No. 13/PUU-XVI/2018 tentang Eks Napi Koruptor → lahirkan PKPU No. 20/2018.
“Lima kesimpulan tersebut 100% bahwa setiap pertimbangan MK di atas berdampak nyata pada regulasi teknis. Pola konsistennya adalah negara menindaklanjuti pertimbangan MK sebagai bagian dari etika konstitusional,” jelasnya.
Iskandar mendesak agar pemerintah mengambil sikap tegas dan tidak menambah beban politik baru melalui pembiaran praktik rangkap jabatan yang telah dikritisi oleh MK. Ia mengingatkan bahwa efisiensi bukan berarti mengurangi jumlah menteri namun memberikan kompensasi lain lewat jabatan komisaris.
“Efisiensi bukan berarti semata-mata mengurangi jabatan menteri, namun bukan juga mengkompensasi pendapatan Wamen lewat BUMN. Justru hal seperti itu yang bertolak belakang dengan janji Presiden Prabowo bahwa negara harus dikelola dengan hemat, gesit, dan bersih,” kata Iskandar.
Ia juga menambahkan bahwa jika memang ada ketimpangan pendapatan, solusinya adalah memperbaiki sistem kompensasi, bukan membuka peluang rangkap jabatan.
“Kalau ada wakil menteri yang merasa kurang besar gajinya, maka solusinya bukan menambah jabatan, melainkan merombak sistem kompensasi secara adil dan transparan,” tegasnya.
Dalam konteks moral dan keteladanan pejabat publik, Iskandar memperingatkan agar para pejabat tidak terus-menerus berlindung di balik celah hukum untuk membenarkan praktik yang tidak etis.
“Sudahi pembenaran berlapis. Jangan jadikan celah hukum sebagai ruang kompromi moral. Presiden sudah melangkah dengan niat baik membenahi manajemen negara. Jangan ada anak buah yang menanam ranjau politik di bawah tapak kaki pemimpin sendiri,” ujarnya.
Iskandar mengakhiri pernyataannya dengan penegasan pentingnya menghormati pertimbangan MK sebagai landasan etik kenegaraan yang tak kalah penting dari amar putusannya.
“Karena jika kita sungguh menghormati Mahkamah Konstitusi, maka bukan hanya amarnya yang ditaati, tapi juga pertimbangannya yang dihayati! Dan jika kita benar-benar ingin membantu Presiden, maka buktikan lewat teladan, bukan lewat akal-akalan jabatan!” pungkasnya.
Sebagai catatan, Putusan MK 80/PUU-XVII/2019 menjadi pijakan penting dalam isu ini. Dalam pertimbangannya, MK menyebutkan bahwa wakil menteri memiliki kedudukan yang sejajar dengan menteri karena sama-sama merupakan pejabat negara yang diangkat presiden.
Maka, larangan rangkap jabatan sebagaimana tercantum dalam Pasal 23 UU No. 39/2008 juga berlaku bagi wakil menteri. Tujuannya, agar fokus kerja mereka tidak terganggu oleh jabatan tambahan di luar kementerian.
Editor : Abdul Basir
Artikel Terkait