BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Pascagencatan senjata permanen Israel dan Palestina, perhatian dunia mulai fokus ke upaya pemulihan kemanusiaan dan ekonomi umat. Dewan Masjid Indonesia (DMI) mengimbau masyarakat untuk menyalurkan semangat solidaritas secara positif dan konstruktif.
Wakil Ketua DMI Imam Addaruqutni mengatakan, semangat membela Palestina merupakan bentuk empati mulia. Namun semangat ini harus diarahkan secara bijak, termasuk gerakan boikot, agar tidak berdampak negatif terhadap pelaku usaha lokal.
Menurut Imam, aksi solidaritas akan lebih kuat jika didasarkan pada informasi kredibel dan sikap hati-hati.
"Diperlukan sikap lebih bijak dan penuh kehati-hatian (terhadap solidaritas kemanusiaan khususnya boikot). Sikap apriori atau asumsi tidak berdasar ini bisa berdampak serius dan berisiko melemahkan ekonomi saudara-saudara kita sendiri di Indonesia," kata Imam.
Imam mengingatkan tantangan terhadap ketahanan ekonomi nasional tidak selalu datang dari luar. Sejak konflik terjadi, banyak produk dalam negeri ikut terdampak kampanye boikot yang tidak didasarkan pada informasi valid.
Dia menyoroti kemungkinan ada pihak-pihak yang memanfaatkan isu sensitif seperti boikot untuk melemahkan ekonomi Indonesia. Karena itu, DMI mengajak masyarakat untuk tetap waspada dan bijak dalam menyikapi setiap ajakan solidaritas.
"Jika ada upaya mencantumkan produk-produk dalam negeri ke dalam daftar boikot dengan tujuan merugikan bangsa sendiri, tentu hal seperti ini perlu diwaspadai dan disikapi bersama," ujar Imam.
Untuk mencegah kesalahpahaman, DMI bersama ulama telah menyusun panduan klasifikasi produk berdasarkan Fatwa MUI Nomor 83 Tahun 2023, yang dapat dijadikan pedoman dalam menyikapi isu ini.
Panduan ini bertujuan untuk mencegah boikot salah sasaran, sekaligus melindungi ekonomi nasional dari efek domino akibat kesalahan informasi.
Dalam panduan itu, terdapat empat kategori produk, yaitu, haram, makruh, mubah, dan sunnah. Tujuannya untuk membantu masyarakat membedakan mana produk yang benar-benar terafiliasi dengan entitas Israel dan mana yang tidak.
Menurut Pelapor Khusus PBB Francesca Albanese, terdapat 48 perusahaan global yang diduga terlibat dalam pendudukan Israel di Palestina.
Namun beberapa di antara produk yang diboikot itu justru telah menggunakan bahan baku lokal hingga 70 persen dan kepemilikannya di Indonesia sudah 100 persen dikuasai pengusaha lokal.
Dalam konteks ini, boikot yang salah sasaran dapat menimbulkan efek domino terhadap rantai pasok lokal, yang akhirnya merugikan petani, UMKM, dan tenaga kerja.
Sementara itu, Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Cholil Nafis menilai kesadaran generasi muda Indonesia terhadap isu kemanusiaan semakin meningkat dan perlu dibimbing dengan edukasi tepat.
“Sekarang anak-anak kecil kalau mau beli produk saja sudah mengecek, ini produk Israel atau bukan. Kesadaran ini perlu dibimbing dengan panduan jelas,” kata KH Cholil.
Peneliti Ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, perusahaan yang memiliki rantai pasok lokal tinggi justru berperan besar menjaga ketahanan ekonomi nasional.
“Jika perusahaan besar dengan rantai pasok lokal kehilangan dukungan pasar domestik, risiko efek domino sangat besar, kontrak dengan pemasok terputus, UKM (pemasok) kehilangan pendapatan, terjadi PHK, dan ekonomi lokal ikut melemah,” kata Yusuf.
Yusuf menambahkan, banyak perusahaan besar di Indonesia yang justru menyerap hasil pertanian dan peternakan dalam negeri, memberdayakan UMKM, serta membuka lapangan kerja.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi) Mirah Sumirat mengatakan,aksi boikot tanpa dasar kuat, berpotensi merugikan perekonomian nasional, terutama berdampak langsung terhadap pekerja dan buruh.
“Jadi, meskipun tujuannya baik, perlu dipikirkan dampaknya agar tidak justru merugikan pekerja dan perekonomian nasional,” kata Mirah.
Mirah menyatakan, meskipun boikot merupakan bentuk aspirasi masyarakat yang sah, namun jika tidak dikelola dengan baik, justru akan menambah beban pekerja, di tengah berbagai tekanan ekonomi lain. Seperti pelemahan ekspor, ketidakpastian investasi, dan perubahan pola konsumsi.
Karena itu, seiring meredanya ketegangan geopolitik dan militer antara Israel dengan Palestina, solidaritas masyarakat Indonesia perlu berevolusi, dari gerakan reaktif menuju gerakan produktif.
Dukungan terhadap Palestina tetap bisa diwujudkan, namun dengan cara yang memperkuat kemandirian dan ketahanan ekonomi bangsa sendiri.
Editor : Agus Warsudi
Artikel Terkait
