Saep menjelaskan, novel ini tidak hanya hasil imajinasi, tetapi juga riset panjang terhadap naskah-naskah klasik Sunda dan ajaran moral Dalem Pancaniti.
Dia menggambarkan kisah futuristik yang berakar pada filosofi lokal dan menggambarkan hubungan manusia, bunyi, dan semesta melalui metafora angka.
Dr Yus Wiradiredja mengatakan, Pancaniti & Rahasia Manuskrip 17 tersebut adalah “mamaos modern” karena menulisnya dengan pola irama seperti tembang Cianjuran.
“Kang Saep menulis seperti menembang. Setiap kata punya getar, setiap angka punya nada. Ini bisa disebut sebagai sastra yang hidup,” kata Yus
Sementara itu, Ilham Nurwansah menyebut novel Pancaniti sebagai tonggak baru sastra daerah yang berpikir global.
“Karya ini membuktikan bahwa tradisi tidak berhenti di masa lalu. Ia bisa bertransformasi melalui medium baru yang sejalan dengan perkembangan teknologi,” ujarnya.
Metty berharap karya tersebut menjadi penggerak gerakan literasi di Cianjur. Menurut Metty, bangsa yang besar tidak hanya dibangun oleh jalan dan gedung, tetapi oleh kekuatan pikiran dan imajinasi.
"Saya berharap Pancaniti menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk menulis dan membaca lebih banyak,” kata Metty yang juga Bendahara Umum DPD Partai Golkar Jabar itu.
Acara peluncuran dimeriahkan petikan kecapi oleh Alief Yusuf dan tembang khusus dari Maestro Mamaos Cianjuran, Dr Yus Wiradiredja. Suasana yang khidmat dan reflektif menandai semangat baru bagi dunia literasi dan kebudayaan di Cianjur.
Melalui Pancaniti & Rahasia Manuskrip 17, seolah menegaskan posisi Cianjur sebagai tanah yang tidak hanya subur untuk padi dan kopi tetapi juga untuk gagasan dan imajinasi yang melintasi zaman.
           
          
          
Editor : Agus Warsudi
Artikel Terkait
