Habib Syarief juga menekankan peran negara sebagai parens patriae, atau pelindung utama bagi warga negara yang rentan, termasuk anak-anak. Dalam usia tumbuh kembang, anak dinilai belum memiliki kapasitas yang memadai untuk memilah konten positif dan negatif di dunia maya.
“Ibarat pembatasan usia mengemudi, pengaturan penggunaan gawai bertujuan melindungi anak dari bahaya yang belum mampu mereka nilai secara matang,” tuturnya.
Oleh karena itu, ia mendesak agar regulasi perlindungan anak di ruang digital tidak berhenti pada aspek hukum semata, tetapi juga menyentuh arsitektur teknologi. Habib meminta pemerintah mewajibkan pengembang teknologi menerapkan sistem perlindungan anak sebagai pengaturan bawaan (by default).
“Negara harus proaktif mendorong pengembang teknologi untuk merancang perangkat yang aman sejak dari sistemnya. Kita ingin menyeimbangkan inovasi dengan kebijaksanaan moral,” ujarnya.
Lebih lanjut, Habib Syarief berharap kebijakan tersebut dapat melahirkan generasi yang tidak hanya cakap secara digital, tetapi juga kritis dan tangguh secara karakter. Menurutnya, laju digitalisasi memang tidak dapat dibendung karena membawa banyak manfaat.
“Kendati demikian, tetap dibutuhkan pengaturan agar digitalisasi tidak memicu dampak negatif, terutama bagi anak-anak kita,” pungkasnya.
Editor : Rizal Fadillah
Artikel Terkait
