Oleh karena itu, Sanjaya segera mengerahkan pasukannya untuk menyerang Galuh. Manarah yang mendapatkan laporan dari telik sandi bersiaga untuk menghadapi pasukan Medang.
Dengan dukungan sisa-sisa pasukan Indraprahasta (Wanagiri) dan raja-raja Kuningan, pasukan Galuh bertempur melawan pasukan Medang. Perang besar sesama Trah Wretikandayun itu berakhir setelah dilerai oleh Raja Resi Demunawan dari Saunggalah melalui Perjanjian Galuh (739).
Perjanjian ini menyatakan bahwa Galuh diserahkan pada Manarah dan Sunda pada Banga. Perjanjian tersebut juga menetapkan bahwa Banga menjadi raja bawahan.
Meskipun tidak sepenuh hati menerimanya, Banga tetap menerima kedudukan tersebut. Untuk memperkuat Perjanjian Galuh, Manarah dan Banga dijodohkan dengan kedua cicit Demunawan.
Manarah yang menjadi Raja Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana itu dinikahkan dengan Kancanawangi. Sementara Banga yang menjabat sebagai raja Sunda bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya itu dinikahkan dengan Kancanasari.
Dari perkawinannya dengan Kancanasari, Banga memiliki putra bernama Rakryan Medang yang kelak menjabat sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Hulukujang (766-783).
Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaannya pada Rakryan Hujungkulon (Prabu Gilingwesi) menantunya yang berkuasa di Sunda pada 783-795.
Selanjutnya, karena Rakryan Hujungkulon hanya memiliki anak perempuan, maka kekuasaan Sunda jatuh ke tangan Rakryan Diwus (Prabu Pucukbhumi Dharmeswara), menantunya yang berkuasa pada 795-819.
Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda berlanjut ke tangan Rakryan Wuwus, putranya yang menikah dengan putri Welengan (Raja Galuh 806-813).
Kekuasaan Galuh kemudian jatuh pada Rakryan Wuwus setelah Prabu Linggabhumi, saudara iparnya, meninggal. Selama menjabat sebagai raja Sunda, Rakryan Wuwus bergelar Prabu Gajahkulon.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta