get app
inews
Aa Read Next : Periksa Sebelum Beli, Ini Daftar Merek Kurma Israel dan Cara Mengeceknya

Duka Masyarakat Gaza, Korban Ambisi Religi atau Korban Prinsip Negara

Sabtu, 16 Desember 2023 | 20:59 WIB
header img
Aktivis dan Pemerhati Sosial Politik, Asep Lukman Abu Arkansya. Foto/Istimewa

Izinkan saya terlebih dahulu bertanya, sebagai bahan renungan bagi kita, tentang apakah duka gaza itu korban ambisi kaum agamawan atau tercipta karena prinsip negara serta penguasanya. Jika gaza masalah agama bisakah diselesesaikan di Vatican, OKI atau para rahib yahudi?

Jika benar perang agama, kenapa Israel tidak mengirim para pemuka agama untuk berdakwah di Palestine? Apakah benar karena yahudi, atau kah nafsu penguasa negara pada materi semisal Soeharto pada Timtim, Sadam Husain pada Iran, Putin pada Ukraina, Xijinping pada Taiwan, penguasa Amerika pada Jepang, Afghan, Irak, dll. Lalu apa bedanya dengan Israel pada Gaza?

Harry S. Truman menggempur jepang bukan karena anti penganut Shinto, Soekarno menggempur Malaysia bukan karena Malaysia mayoritas Islam, begitupun kita yang sering bersiteru di dalam satu sama lain antar parpol, antar pejabat, antar ormas. Apakah benar karena perbedaan agama?

Palestine versus Israel, China versus Tibet, India versus Kasmir, laut China Aelatan dan Asia Tenggara. Apakah benar provokatornya kitab suci agama masing-masing?

Agama dan Manusia

Butuhnya jiwa manusia pada Agama persis sama seumpama raga manusia yang membutuhkan asupan makanan, minuman atau hal-hal yang bersifat materi. Artinya, butuhnya jiwa manusia pada agama mutlak bukan atas rekayasa emosi yang disiasati rasio.

Kebutuhan tersebut menurut kesimpulan logika disebut suatu kebutuhan naluri yang merupakan pembawaan dari Azali.

Terlepas dari benar salahnya jiwa manusia menganut ajaran agama, semua benak pasti sepakat bahwa agama adalah wawasan ilmu ke-Tuhanan yang penuh kasih sayang, kedamaian, keagungan, kemuliaan, kesempurnaan, kesucian, dan kesatriaan.

Dengan demikian, menurut para pemeluknya, agama mutlak bukan milik perseorangan atau kelompok, tapi mutlak milik Tuhan semesta alam.

Karena itu agama mustahil bisa terkotori oleh visi misi perburuan materi yang sarat cerita kesadisan dan kekejaman yang melanggar norma kemanusiaan.

Sejak dunia tercipta hingga semua yang ada dalam kehidupan ini hancur mustahil akan ada cerita dimana para tokoh agamawan melengkapi para pengikutnya dengan pedang, kelewang, tombak, arit dan celurit.

Sebab betapa naifnya jika ada suatu ajaran keyakinan yang dalam penyebarannya menggunakan cara-cara kekerasan, pemaksaan semisal meneror dan mengintimidasi.

Agama adalah wawasan ilmu ke-Tuhanan yang penuh kasih sayang, keagungan dan kesatriaan yang pasti akan selalu bergerak menyebar atas kekuatan dasar-dasar pemahaman yang mutlak bertumpu pada azas pemikiran (logika).

Sehingga akan terlihat kontradiktif jika penyebaran agama dilakukan dengan cara-cara yang diluar azas logika dan etika Kesadaran jiwa manusia dalam menganut suatu agama mustahil bisa dikondisikan dengan pola kekerasan.

Karena kesadaran itu muncul tidak lain dasarnya terproduk oleh pemahaman yang dilandasi dasar-dasar pemikiran (logika). Sejahat apapun individu manusia, jika sudah menjadi Rahib Yahudi, menjadi paulus dan atau sudah menjadi alim ulama maka unsur-unsur kejahatan yang ada dalam dirinya pasti akan sulit berkembang, karena akan selalu terkekang oleh embrio kesucian yang terkandung dalam paham ajaran agamanya.

Pertanyaannya, benarkah perang antara Israel dan Palestina itu bertikai demi visi misi religi yang diprakarsai oleh Rahib Yahudi demi tujuan mengubah ajaran keyakinan bangsa Palestina, atau pertempuran itu suatu fakta dari cerita persengketaan dalam mempersoalkan hak kepengurusan kawasan materi (ekonomi) yang dipandang penting oleh para penguasa negara?

Rasa Iba pada Gaza 

Secara naluri kemanusiaan yang mutlak tercipta atas potensi ke-Tuhanan, seluruh jiwa manusia pasti akan merasa iba ketika melihat jatuhnya korban dalam semua cerita peperangan.

Namun saking kuatnya prinsip-prinsip yang terkandung dalam wujud negara, maka prinsip-prinsip tersebut secara sistematis akan menjelma membentuk suatu ambisi yang senantiasa memaksa dan mendesak terhadap diri-diri penguasa, menyuruh mengabaikan rasa kemanusian dalam cerita perburuan materi yang dilakukan lewat peperangan dan atau lewat politik ekonomi monopoli.

Rasa kemanusiaan menurut visi negara dalam cerita perburuan materi selalu pasti dipandang penghalang misinya. Kenapa? Karena jika negara dalam upaya mempertahankan eksistensinya tiba-tiba teguh berpegang kuat pada dasar-dasar naluri kemanusiaan, maka menurut pendapat negara pasti akan hancur berantakan, artinya, pasti negara akan bubar.

Misalnya agresi Israel ke Palestina yang sudah berlangsung lama, adalah suatu bukti dari perwujudan visi misi negara dalam rangka berupaya bagaimana caranya agar APBN-nya bertambah besar hingga menjadi dinobatkan sebagai negara Kuat kondang terpandang.

Dilain pihak kelompok Hamas yang selalu berharap ingin menjadi penguasa negara upayanya selalu terhalang oleh penguasa Israel yang nyata sudah diketahui umum bahwa dibelakangnya ada negara adidaya.

Sederhananya, cerita seperti di atas sungguh tidak jauh beda dengan cerita ketika negara Indonesia mencaplok Timor Timur? Kelompok Hamas secara kasat mata senantiasa dipandang sebagai pejuang bangsa Palestina yang konon sering disebut sebagai pejuang muslim.

Padahal kalau kita kaji secara mendalam bahwa cerita duka di Gaza tidak lain merupakan akibat dari suatu bentuk pertempuran ambisi antar kelompok yang selalu berupaya ingin menjadi penguasa negara Palestina dan ambisi penguasa negara Israel.

Artinya, bahwa cerita duka di Gaza itu sama sekali bukan akibat dari cerita peperangan antar masyarakat Israel dan masyarakat Palestina, namun dalam cerita pertempuran tersebut masyarakat selalu pasti dijadikan alat alasan dan korban.

Harapan Masyarakat

Masyarakat yang notabene selaku penghuni mayoritas suatu negara, pasti mereka akan sangat kebingungan tatkala dirinya dihadapkan pada suatu kondisi yang sangat mencekam dalam cerita pertempuran misalnya di Palestina saat ini.

Rentannya rasa keterancaman hidup yang sarat cerita terengutnya nyawa sanak saudara, tetangga dan kerabat dekat, dalam kondisi seperti itu bagi masyarakat pastinya hanya akan menuntut satu harapan yaitu hidupnya ingin sekali jauh dari bunyi petasan.

Dan dalam kondisi ketercekaman seperti itu pasti kitapun sebagai penonton bisa membayangkan apa yang menjadi harapan masyarakat Palestina saat ini.

Dan kalau boleh saya ilustrasikan kata-kata yang sering muncul dalam hati masyarakat Palestina saat ini bunyinya seperti demikian, “Lebih baik hidup ini menghadapi mahalnya harga barang-barang yang menjadi kebutuhan pokok daripada setiap hari harus sering menerima dentuman meriam".

Mari bertanya pada rasa dan logika. Kira kita samakah harapan masyarakat itu dengan apa yang menjadi ambisi kelompok Hamas dan penguasa Israel?

Bagi kelompok Hamas yang mengatasnamakan pejuang, dan atau bagi penguasa Israel yang sebagai sang agresor, dengan pasti akan mutlak memandang salah terhadap apa yang menjadi harapan masyarakat Palestina di atas yang hanya menuntut satu keinginan yaitu ingin hidup jauh dari bunyi petasan.

Lalu, mungkinkah harapan masyarakat Palestina itu akan didengar oleh kelompok Hamas dan atau oleh penguasa negara Israel?

Jawabannya singkat, “Mustahil akan didengar! Karena Hamas akan memandang dengan prinsip-prinsip kenegaraannya bahwa jatuhnya korban masyarakat sipil adalah resiko perjuangan.

Dan penguasa negara Israel pasti hanya akan berkata dengan nada jengkel, “Biarlah mereka-mereka itu supaya bisa merasakan! Sementara masyarakat sipil berkata dengan nada kesal, “Mengapa kami yang menjadi korban". (*)

Editor : Rizki Maulana

Follow Berita iNews Bandungraya di Google News Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut