BANDUNG, INEWSBANDUNGRAYA.ID - Dua warga asal Kabupaten Pangandaran diduga jadi korban mafia tanah. Tiba-tiba namanya tercatat pernah memiliki tanah masing-masing seluas 1 hektar di Kawasan Wisata Tanjung Cemara.
Namun kemudian nama kepemilikannya tiba-tiba beralih kepada orang lain, bernama Tjahya Santoso. Dua Warga itu adalah Iing Solihin dan Unih, yang diduga menjadi korban mafia tanah. Nama mereka dicatut sebagai pemilik tanah.
Keduanya kemudian membuat laporan polisi ke Polres Pangandaran atas dugaan tindak pidana pasal 266 dan atau 263 KUPH tentang pemalsuan surat, dengan terlapor Tjahja Santoso pada bulan Februari 2024.
Kuasa hukum Iing dan Unih, Rangga Fauzie Purnama menuturkan kejadian ini berawal dari tahun 2016. Saat itu, kliennya diminta seseorang berinsial E untuk pergi ke salah satu notaris.
Di sana, Iing dan Unih diminta menandatanganni sebuah dokumen yang keduanya tidak mengetahui isi dari dokumen tersebut. "Klien kami dikasih uang (Rp. 2 juta) oleh mantan kepala desa, tapi tidak dibilang jual-beli tanah dan diminta untuk menandatangani. Disangka mereka bantuan langsung tunai. Itu tahun 2016," ucap Rangga saat ditemui di Kota Bandung, Senin (27/5/2024).
Berselang 8 tahun, pada Januari 2024, keduanya diberitahu oleh Kepala Desa Sukaresik memiliki sebidang tanah masing-masing 1 hektare (ha) di desanya, yang telah berganti kepemilikan atas nama Tjahja Santoso.
"Nama klien kami muncul sebagai pemilik tanah. Kemudian, berubah menjadi atas nama Tjahja. Padahal klien kami melaporkan tidak pernah punya tanah di Tanjung Cemara," ujar Rangga.
"Klien kami pun membuat surat pernyataan soal tidak pernah memiliki kedua bidang tanah tersebut. Bahkan, pihak Desa Sukaresmi pun telah menerbitkan surat keterangan yang membenarkan Iing dan Unih tidak pernah memiliki sebidang tanah di lokasi tersebut," sambung Rangga.
Lebih lanjut, Rangga menuturkan, akibat adanya laporan tersebut pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengeluarkan surat blokir sertifikat tanah. Alih-alih mengindahkan surat tersebut, pihak terlapor Tjahja diduga menyuruh alat-alat berat masuk ke dalam tanah yang berstatus quo tersebut untuk melakukan pembangunan.
"Ketika tanah sudah diblokir, ternyata di lapangan masuk alat berat, sudah menggali di sana timbulah ramai di sana. Kami menduga, bahawasannya ini kemungkinan dugaan kami berhadapan dengan mafia tanah," kata Rangga.
Ada Intervensi Pemkab Pangandaran?
Rangga menambahkan, kasus ini seolah-olah tidak ada progres dan jalan di tempat. Pasalnya, meski tanah tersebut masih berstatus quo, terlapor kerap kali meminta pegawainya untuk melakukan aktivitas pembangunan dengan menggunakan alat berat.
"Diduga adanya intevensi oknum aparat Polres Pangandaran dan keterlibatan oknum Pimpinan BPN setempat dalam kasus ini sehingga menyulitkan penyidik dan terhambatnya proses penyelidikan," katanya,
Oleh karena itu, Rangga pun memutuskan untuk membuat permohonan pengalihan laporan polisi ke Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat. Hal ini dilakukan agar proses penyelidikan kasus tersebut lebih cepat dan transparan.
"Kami mohon, agar laporan yang telah dibuat oleh kedua klien kami agar segera diambil alih oleh Polda Jabar," kata Rangga. (*)
Editor : Ude D Gunadi