Di tengah keheningan artifisial, sepuluh bayi itu dibiarkan merangkak dan berinteraksi dengan cara yang hanya mereka pahami. Tidak ada satupun kata yang diperkenalkan, tidak ada warisan simbolis, dan tidak ada kode bahasa yang disusupkan. Mereka dibiarkan menjadi wadah kosong, kanvas putih yang siap dicoret oleh insting purba mereka.
Maryam mengamati dari ruang kontrol yang steril, matanya mencerminkan pendar cahaya biru dari antarmuka holografik. “Apakah manusia, tanpa beban masa lalu linguistik, mampu menciptakan simbol baru yang benar-benar asli?” gumamnya. Ia tahu bahwa jawaban atas pertanyaan itu akan mengubah pemahaman manusia tentang komunikasi selamanya.
Sajak Neurologis
Waktu berlalu dengan detak Neuro Corpus yang menggema seperti denyut nadi. Anak-anak mulai menunjukkan pola interaksi yang mengejutkan. Awalnya, mereka hanya bereaksi terhadap kehadiran satu sama lain: sentuhan lengan, gemeretak tawa tanpa suara, tatapan mata yang tajam. Namun, seiring dengan berkembangnya otak mereka, lahir pola-pola baru yang sulit diuraikan.
Anya, salah satu bayi dengan mata hijau cemerlang, menunjukkan tingkat kecerdasan yang jauh di atas normal. Dia mulai mengatur gerakan dengan ritme tertentu, ketukan jari di lantai yang menghasilkan pola. Bayi lain merespons dengan gerakan serupa, membentuk lingkaran komunikasi yang hanya mereka pahami. Neuro Corpus memancarkan data ke layar Maryam: aktivitas gelombang otak meningkat, sinyal elektromagnetik di antara mereka saling menyahut, menciptakan ekosistem komunikasi neurologis yang belum pernah terlihat.
“Ini adalah simfoni tanpa bunyi, sajak yang melampaui kata,” ujar Maryam dengan suara penuh kekaguman. Di ruang di mana bahasa manusia tak lagi relevan, lahir sebuah bentuk baru—Neuro Lyric, bahasa yang ditenun dari resonansi dan sinyal, diungkap melalui tubuh dan pandangan.
Editor : Ude D Gunadi