get app
inews
Aa Text
Read Next : Soal BPR Rugi, BPK Minta Pemprov Jabar Koordinasi dengan LPS

BPK Temukan Indikasi Kerugian Negara Rp10 Miliar pada PT PPE

Jum'at, 31 Januari 2025 | 20:03 WIB
header img
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus. (Foto:Istimewa)

BANDUNG, iNewsBandungRaya.id  - PT Prayoga Pertambangan dan Energi (PT PPE), badan usaha milik daerah (BUMD) yang didirikan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor sejak 2012 untuk mengelola sektor pertambangan dan energi, telah dinyatakan pailit. Kondisi tersebut mencerminkan kegagalan pengelolaan pcerusahaan yang sejak awal mendapat suntikan modal besar dari pemerintah daerah.

Sejak pendiriannya, PT PPE telah menerima modal dasar sebesar Rp50 miliar dari Pemkab Bogor, yang dikucurkan dalam dua tahap, yakni Rp27,5 miliar pada APBD 2011 dan Rp22,5 miliar pada APBD 2012. Pada tahun 2013, melalui Peraturan Daerah Nomor 9, penyertaan modal ditingkatkan menjadi Rp150 miliar hingga total modal mencapai Rp164 miliar pada 2017.

Dengan dana yang besar, PT PPE mengembangkan bisnis di sektor pertambangan dengan mengakuisisi perusahaan asphalt mixing plant (AMP) di Sentul dan membuka unit bisnis Quarry Gunung Bitung di Cigudeg. Namun, dalam perjalanannya, perusahaan mengalami masalah keuangan serius, termasuk utang yang terus membengkak.

Pada 2019, terungkap PT PPE memiliki utang sebesar Rp28,99 miliar kepada 11 kreditur, dengan PT Bank Bukopin Tbk Cabang Bogor sebagai kreditur terbesar mencapai Rp13,96 miliar. Masalah keuangan berujung pada langkah drastis Pemkab Bogor, seperti mengganti direktur utama pada tahun yang sama dan merumahkan seluruh karyawan untuk waktu tidak ditentukan.

“Berdasarkan hasil audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), menemukan adanya indikasi kerugian negara sebesar Rp10 miliar terkait dengan operasional PT PPE,” ungkap Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus dalam sebuah diskusi di Kota Bandung pada Jumat, (31/1/2025).

Temuan BPK menunjukkan adanya dugaan penyimpangan dalam pengelolaan keuangan PT PPE, yang berdampak pada penerimaan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) terhadap laporan keuangan Pemkab Bogor. Hingga kini, rekomendasi BPK untuk melakukan pembenahan belum sepenuhnya dijalankan.

Ketidakmampuan PT PPE dalam mengatasi krisis finansial berujung pada putusan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Keputusan diambil setelah perusahaan gagal membayar gaji karyawan selama dua tahun dan tidak mampu merestrukturisasi utang melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan sejak 28 April 2021.

Selain itu, DPRD Kabupaten Bogor juga mendesak perusahaan untuk menanggung kerugian negara sebesar Rp10 miliar, yang semakin memperburuk kondisi keuangan PT PPE. Akumulasi utang, kegagalan restrukturisasi, dan tekanan dari berbagai pihak membuat perusahaan tidak dapat bertahan, menyebabkan ketidakpastian bagi karyawan dan operasionalnya.

Kondisi pailit PT PPE menjadi tantangan berat bagi Bupati Bogor terpilih, Rudy Susmanto, karena harus segera menyelesaikan persoalan yang telah berlarut-larut. Terlebih lagi, Gubernur Jabar terpilih, Dedi Mulyadi, telah menegaskan komitmennya untuk menutup semua tambang ilegal di Jawa Barat.

“Situasi itu tentu menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi Bupati Bogor terpilih Rudy Susmanto sebab persoalan tersebut sudah masuk dalam radar BPK. Mau tidak mau Bupati Bogor harus bisa dengan mumpuni menuntaskannya,” ujar Iskandar.

Dedi Mulyadi juga menegaskan, seluruh kepala daerah di Jawa Barat harus mengambil langkah tegas terhadap aktivitas penambangan ilegal. Oleh karena itu, PT PPE, yang merupakan aset daerah, berpotensi menjadi garda terdepan dalam mendukung kebijakan tersebut jika dikelola secara profesional.

Meskipun telah diputus pailit, masih ada beberapa opsi yang dapat dilakukan untuk memulihkan PT PPE dan menghindari kerugian lebih besar. Iskandar Sitorus mengusulkan beberapa langkah yang dapat ditempuh Pemkab Bogor, antara lain:

Mengajukan kembali proses perdamaian dalam kepailitan melalui Homologasi yang bisa diajukan debitur kepada kreditur.

Melakukan restrukturisasi utang di luar pengadilan (Out-of-Court Settlement).

Mengajukan pembatalan kepailitan jika ditemukan bahwa PT PPE tidak memenuhi syarat untuk dinyatakan pailit.

Mengajukan pemulihan status badan hukum PT PPE ke Kementerian Hukum dan HAM.

Mencari investor baru untuk menyuntikkan modal guna membantu menyelesaikan kewajiban finansial.

Melakukan penyelesaian utang dengan aset yang dimiliki.

Meski dalam kondisi sulit, PT PPE masih memiliki potensi bisnis yang dapat dioptimalkan. Perusahaan memiliki perjanjian kerja sama operasi (KSO) dengan PT Radian Delta Wijaya (PT RDW) untuk pengelolaan Quarry Gunung Bitung, dengan royalti sebesar Rp30.000/m3 x 40.000m3 per bulan selama 10 tahun sejak 2023. Potensi totalnya mencapai 2 juta m3.

Selain itu, PT PPE juga memiliki bisnis di sektor Asphalt Mixer Plant (AMP) dan Batching Plant, serta kerja sama dengan PT RDW dalam pengelolaan quarry batu di Cigudeg.

“PT PPE juga bisa menjadi garda terdepan bagi Gubernur Jabar dalam mewujudkan cita-cita Pemprov Jabar guna memerangi pertambangan ilegal dengan model tata kelola korporasi BUMD,” tutup Iskandar. (*)

Editor : Abdul Basir

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut