Catatan Bangsawan tentang Sejarah Cianjur, dari Tahayul ke Tanam Paksa

Namun dari sisi nalar kritis, kita juga perlu mengajukan kritik: apakah cerita-cerita ini, bila terus diwariskan tanpa pembacaan baru, tidak justru melanggengkan pola pikir feodal, fatalistik, dan irasional?
Apakah terlalu lama bergantung pada “jejak Badak Putih” tidak membuat kita lupa untuk bertanya siapa sebenarnya yang memungut pajak dari kebun kopi di bawah bayang badak tersebut?
Sekitar periode 1720-an hingga awal abad ke-20, Cianjur dan Priangan adalah bagian dari sistem tanam paksa kopi yang sangat menguntungkan bagi pemerintah kolonial Belanda.
Dalam studi klasik Jan Breman Koelies, Planters en Koloniale Politiek (1987), sistem ini dijelaskan bukan hanya sebagai eksploitasi ekonomi, tapi juga sebagai mekanisme politik, di mana para bupati dan menak lokal menjadi perpanjangan tangan kolonial dalam mengawasi rakyatnya sendiri.
Di dalam naskah 1857, kita menemukan gambaran nyata akan peran brutal seorang bupati: Raden Aria Wira Negara, misalnya, digambarkan mengikat petani dan mandor, menyiksa mereka dengan semut merah, bahkan memaksa mereka duduk di dahan yang dipotong agar jatuh dan patah.
Editor : Agus Warsudi