Kebijakan Populis Dedi Mulyadi Dikritik: Antara Gebrakan dan Pencitraan

Menurutnya, solusi yang dibutuhkan adalah penataan kawasan secara sistematis dan berkelanjutan, bukan sekadar tindakan yang menghasilkan tepuk tangan sementara di media sosial.
Kritik tak berhenti di sana. Eko juga mempertanyakan keadilan dari kebijakan pemutihan denda pajak kendaraan bermotor yang dinilai justru menguntungkan pihak yang tidak taat hukum.
“Mereka yang telat bayar pajak diberi insentif, sementara yang taat tak dapat apa-apa. Ini menciptakan insentif negatif dalam sistem perpajakan,” kata Eko.
Ia memperingatkan bahwa kebijakan populis semacam ini berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi pendapatan daerah. Diketahui, potensi kehilangan pendapatan dari pemutihan denda pajak bisa mencapai Rp30 triliun.
“Bayangkan, dana sebesar itu bisa digunakan untuk membangun sekolah, fasilitas umum, hingga bantuan sosial. Jika kebijakan ini tidak dikelola dengan bijak, masyarakat yang paling dirugikan,” imbuhnya.
Melalui kritiknya, Eko Kuntadhi menyoroti tantangan kepemimpinan di era digital, di mana popularitas di media sosial sering kali mengaburkan penilaian terhadap substansi kebijakan.
“Gubernur itu bukan YouTuber. Kita butuh pemimpin yang bukan hanya viral, tapi juga visioner,” tutup Eko.
Editor : Agung Bakti Sarasa