Menakar Keadilan Pendidikan: Catatan Kritis atas Kebijakan Larangan Penahanan Ijazah di Jawa Barat

Karena itu, saya menulis catatan ini bukan untuk menentang kebijakan, melainkan untuk mengajak semua pihak, baik gubenur dan DPRD untuk mendengarkan dan membuka ruang dialog, untuk mendengarkan keluhan dari bawah, dan dan dapat menemukan solusi yang tidak sekadar menggugurkan kewajiban, tapi benar-benar adil bagi semua pihak.
Pendidikan yang adil bukan hanya soal memberi hak pada siswa, tapi juga memastikan para guru dan lembaga yang melayani mereka bisa bertahan dengan bermartabat. Ini bukan tentang menolak niat baik, tapi tentang merawat niat itu agar bisa berjalan bersama diatas realitas kenyataan.
Konstitusi kita menjanjikan sesuatu yang besar: setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Tapi janji itu kadang terdengar seperti gema yang jauh, terutama kalau kita menengok ke ruang-ruang kelas sederhana di pelosok negeri.
Saya pernah duduk di bangku panjang sebuah sekolah swasta kecil di desa. Dindingnya dari bilik bambu, papan tulisnya sudah buram, dan suara anak-anak belajar bersaing dengan suara ayam dan angin dari celah-celah jendela. Tapi semangat para gurunya, itu tak pernah pudar. Mereka mengajar dengan hati, penuh dengan keikhlasan yang sulit digambarkan.
Sayangnya, keikhlasan saja tidak cukup untuk menyalakan lampu, memperbaiki atap yang bocor, atau membayar gaji guru. Sekolah negeri bisa mengandalkan BOPD sekitar Rp1,86 juta per siswa per tahun. Sementara sekolah swasta, yang tak kalah berjasa, hanya mendapat BPMU sekitar Rp600 ribu. Padahal kebutuhan mereka sama bahkan kadang lebih besar karena mereka harus bertahan sendiri dan bayar gaji guru sendiri.
Kita perlu jembatan. Bukan hanya antara konstitusi dan realita, tapi juga antara rasa keadilan dan kebijakan. Karena pendidikan bukan sekadar soal angka di anggaran, tapi tentang masa depan anak-anak yang duduk rapi di bangku kayu, berharap suatu hari hidup mereka bisa berubah.
Editor : Rizal Fadillah