Menakar Keadilan Pendidikan: Catatan Kritis atas Kebijakan Larangan Penahanan Ijazah di Jawa Barat

Saya percaya, semangat di balik larangan menahan ijazah adalah semangat yang baik. Siapa pun tentu tak ingin ada anak didik yang terhambat melanjutkan hidupnya hanya karena tunggakan biaya sekolah. Tapi kadang, niat baik saja tak cukup kalau tak disertai pemahaman akan kenyataan di lapangan.
Di banyak sekolah swasta, terutama yang kecil dan berada di pelosok, kebijakan ini justru menimbulkan kegamangan. Mereka bukan tidak mau mengikuti aturan, tapi mereka bingung harus mencari dana dari mana untuk menutup kebutuhan operasional yang terus berjalan.
Saya sering berdiskusi dengan kepala sekolah dan guru-guru swasta. Mereka bercerita, betapa beratnya menjalankan lembaga pendidikan dengan dana terbatas. Di satu sisi, mereka harus membayar gaji guru, listrik, air, perawatan bangunan. Di sisi lain, mereka paham betul kondisi wali murid yang memang sedang kesulitan ekonomi. Banyak yang datang ke sekolah hanya untuk minta waktu, bukan karena tak ingin membayar, tapi karena memang belum bisa.
Dalam situasi seperti ini, sekolah ada di tengah pusaran dilema. Jika mereka mengikuti aturan, kas sekolah bisa kosong, operasional terganggu, guru-guru bisa tak digaji. Tapi jika mereka mencoba bertahan dengan mekanisme lama, mereka dituding tak berperikemanusiaan. Padahal siapa pun tahu, sekolah-sekolah ini bukan institusi bisnis, tapi ruang pengabdian.
Inilah kenyataan yang sering luput dari perhatian pembuat kebijakan. Sekolah swasta yang sudah puluhan tahun ikut mencerdaskan bangsa, hari ini justru seperti berdiri sendiri. Mereka dituntut untuk taat aturan, tapi tak diberi dukungan nyata. Keadilan itu bukan hanya soal memberi hak kepada siswa, tapi juga mendengar jeritan lembaga pendidikan yang selama ini terus berjuang, meski dalam senyap.
Editor : Rizal Fadillah