get app
inews
Aa Text
Read Next : IAW Minta Reformasi Total BPJS dan Audit Independen Sistem

IAW Ungkap Masalah Legalitas dan Pengelolaan Sawit di Lahan Sitaan Negara

Kamis, 16 Oktober 2025 | 18:22 WIB
header img
Ilustrasi perkebunan sawit. (Foto: Istimewa)

BANDUNG, iNewsBandungRaya.id  -Indonesian Audit Watch (IAW) menyatakan  PT Agrinas Palma Nusantara, perusahaan yang dibentuk untuk pengelola lahan sawit eks sitaan negara menghadapi sejumlah masalah. 

Sekretaris Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus mengatakan perusahaan tersebut belum memiliki dasar hukum yang lengkap untuk menjalankan fungsi sebagai pengelola lahan bekas Torganda di Sumatera Utara dan eks Duta Palma di Riau. 

Perusahaan tersebut diketahui belum memiliki Hak Guna Usaha (HGU), belum mengantongi Nomor Induk Berusaha (NIB), serta masih menunggu diterbitkannya Surat Keputusan pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan.

"Artinya, secara hukum agraria dan kehutanan, belum menjadi subjek hak atas tanah, melainkan hanya pengelola administratif sementara. Dalam kerangka UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, posisi semacam ini rentan disebut 'penggunaan kawasan tanpa dasar hukum tetap',” kata Iskandar dalam keterangan tertulisnya, Kamis dalam keterangan tertulisnya, Kamis (16/10/2025).

Ia juga menyinggung pengakuan Direktur Utama Agrinas, Jenderal (Purn) Agus Sutomo, yang dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VI DPR RI pada September lalu menyampaikan perlunya dukungan regulasi dari pemerintah. Dukungan itu diminta melalui penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) agar proses pelepasan kawasan hutan bisa dipercepat.

"Permintaan itu sejatinya adalah pengakuan terbuka bahwa status hukum Agrinas masih rapuh, bahkan untuk ukuran BUMN," imbuhnya.

Di sisi lain, Agrinas kini berhadapan dengan dua gugatan hukum yang memperkuat dugaan lemahnya posisi hukum perusahaan. Gugatan pertama diajukan oleh masyarakat adat dari tujuh desa di Kecamatan Simangambat, Sumatera Utara, yang menilai Agrinas telah mengabaikan kewajiban pembangunan kebun plasma sebesar 20 persen dan menggugat ke Pengadilan Negeri Padangsidimpuan.

Gugatan tersebut dilayangkan karena masyarakat beranggapan bahwa perusahaan tidak menjalankan pola kemitraan sesuai ketentuan. Dalam proses hukum, Iskandar menyebut tim hukum Agrinas tidak mampu membuktikan bahwa kewajiban tersebut telah dijalankan. Salah satu aspek krusial yang akan menjadi perhatian pengadilan adalah tidak adanya dokumen perencanaan pembangunan kebun masyarakat, sebagaimana diwajibkan dalam Permentan No. 98 Tahun 2013 Pasal 11.

“Kelemahan utama, tim hukum dan teknis Agrinas tidak memahami substansi kewajiban plasma. Tentu dalam sidang mereka tidak akan mampu membawa bukti izin usaha, dan gagal menjelaskan status hukum penguasaan lahan,” ungkapnya.

Gugatan lain muncul dari Riau, berkaitan dengan pengelolaan lahan eks Duta Palma yang disebut-sebut dilakukan tanpa kejelasan izin serta tidak disertai pelaksanaan kebun plasma. Iskandar menyayangkan pola lama korporasi sawit swasta yang justru diikuti oleh BUMN ini.

“Kelemahan utama, meski membawa nama BUMN, Agrinas tidak memiliki laporan transparansi pengelolaan lahan eks Duta Palma, tidak ada publikasi rencana kemitraan, dan tidak ada pelibatan masyarakat lokal secara resmi,” ujar Iskandar.

Menurutnya, dua perkara ini menunjukkan adanya kekosongan dalam kesiapan teknis dan manajerial perusahaan, serta lemahnya kompetensi hukum di lapangan. Dirut Agrinas sendiri dalam forum DPR telah mengakui adanya kendala internal, terutama dalam pemahaman terhadap aspek hukum kehutanan dan perkebunan.

Kekhawatiran ini semakin kuat setelah IAW melakukan analisis terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI selama 20 tahun terakhir. Temuan menunjukkan bahwa banyak perusahaan sawit nasional kerap melanggar ketentuan plasma, dan kondisi serupa berisiko terulang oleh Agrinas jika tidak ada perbaikan.

Laporan BPK dari 2004 hingga 2024 menunjukkan keterlambatan realisasi plasma antara 7,8 hingga 10 tahun. Pengawasan hanya dilakukan pada 12 persen perusahaan, dan sekitar Rp 2,3 triliun dana kemitraan ditemukan bermasalah. Selain itu, 45 persen lahan plasma belum bersertifikat, sementara program pembinaan teknis tidak berkelanjutan pada 78 persen perusahaan, dan hanya 34 persen daerah yang memiliki kapasitas pengawasan memadai.

“Perusahaan-perusahaan besar seperti Sinar Mas, Wilmar, Torganda, Musim Mas, Astra Agro, dan Surya Dumai sudah tercatat dalam LHP BPK sebagai pelanggar sistemik plasma. Ironisnya, Agrinas kini menunjukkan gejala serupa, padahal membawa mandat negara!” ucap Iskandar.

Lebih jauh, ia menyebut bahwa pelanggaran yang dilakukan Agrinas masuk dalam kategori mal-administration by state proxy, yaitu pelanggaran oleh institusi negara yang seharusnya menegakkan aturan. Permintaan Inpres dianggap menjadi cermin dari kegagalan menjalankan prosedur hukum formal sebagaimana tertuang dalam PP No. 104 Tahun 2015.

“Inpres, secara hukum administrasi, bukan sumber hak, hanya perintah koordinatif. Artinya, sekalipun Inpres keluar, tanpa SK pelepasan kawasan hutan dan izin HGU, status hukum Agrinas tetap sementara,” tegas Iskandar.

Ia menilai posisi hukum Agrinas sangat rentan, terlebih dengan munculnya dua gugatan yang memperlihatkan celah hukum yang belum ditutup.

Iskandar juga memaparkan bahwa Agrinas kini berpotensi menghadapi tiga jenis persoalan hukum. Risiko pertama bersifat administratif, yaitu potensi pencabutan mandat oleh pemerintah. Kedua, risiko perdata yang memungkinkan makin banyaknya gugatan dari masyarakat. Ketiga, risiko pidana yang mungkin muncul akibat dugaan pelanggaran atas UU Kehutanan dan UU Perkebunan.

Audit internal IAW terhadap manajemen Agrinas menemukan berbagai kekurangan struktural. Di antaranya tidak adanya pemetaan komprehensif atas regulasi kehutanan dan perkebunan, ketiadaan unit khusus untuk compliance dan due diligence, serta minimnya pemahaman staf di lapangan mengenai batas waktu kewajiban plasma sesuai Permentan No. 98 Tahun 2013 Pasal 40.

Masalah lainnya, laporan keuangan dan program tanggung jawab sosial (CSR) Agrinas dinilai belum terbuka dan tidak memenuhi standar yang ditetapkan dalam UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Hal ini menyebabkan tim Agrinas sering tidak siap saat menghadapi proses hukum di pengadilan, baik secara administratif maupun prosedural.

"PT Agrinas Palma Nusantara berdiri atas mandat negara, tapi hingga kini masih berjalan di atas tanah yang belum dilepaskan, dengan izin yang belum selesai, dan tim hukum yang belum matang," ujarnya.

Menurut Iskandar, persoalan Agrinas mencerminkan lambatnya adaptasi negara dalam menyelaraskan praktik pengelolaan dengan regulasi yang sudah dibuat sendiri.

"Sementara perusahaan swasta belajar mengakali hukum, Agrinas justru tersandung karena tidak memahami hukum. Jika BUMN saja gagal menegakkan aturan plasma, bagaimana mungkin negara menuntut kepatuhan dari korporasi swasta?" ujarnya.

Sebagai bentuk perbaikan, IAW memberikan sejumlah saran. Di antaranya, mendesak BPK untuk melakukan audit khusus terhadap pengelolaan Agrinas, terutama terkait kewajiban plasma dan status hukum kawasan eks Torganda dan Duta Palma. Sinkronisasi lintas kementerian juga dinilai penting untuk mempercepat kejelasan hukum aset negara.

IAW juga menyerukan agar Agrinas membuka data realisasi plasma dan rencana pengelolaan tahunannya ke publik. Selain itu, pembentukan unit hukum dan kepatuhan internal harus segera dilakukan, termasuk mengevaluasi pimpinan yang tidak memahami aspek hukum terkait pengelolaan perkebunan dan kehutanan.

“Negara sedang belajar menjadi tertib melalui tangan anaknya sendiri. Tapi bila tangan itu lemah, hukum akan jatuh di pangkuan rakyat. Dua gugatan terhadap PT Agrinas adalah peringatan keras, bahwa mandat tanpa pemahaman hukum hanyalah jalan menuju kehilangan legitimasi,” pungkas Iskandar. (*)

Editor : Abdul Basir

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut