Tren Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak di Kota Bandung Meningkat

Rizal Fadillah
Tren Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak di Kota Bandung Meningkat. (Foto: Ilustrasi/iNews)

BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bandung mencatat, kasus kekerasan pada perempuan dan anak mengalami peningkatan.

Menurut Kepala DP3A Kota Bandung, Uum Sumiati, hal ini merupakan fenomena gunung es yang tak bisa dianggap sepele.

"Korban kekerasan itu fenomenanya seperti gunung es. Angka yang muncul ini hanya yang berani melapor kepada kami," ucap Uum di Auditorium Balai Kota Bandung, Senin (27/11/2023).

Meski begitu hal ini jangan terus dianggap negatif. Sebab, dengan adanya kondisi seperti ini merupakan efek dari keberhasilan edukasi kepada masyarakat.

"Peningkatan ini selalu dianggap negatif. Padahal ini juga merupakan suatu keberhasilan karena masyarakat sudah melek dan berani untuk melapor. Jika ada laporan yang tercatat, berarti trennya pasti akan naik," ungkapnya.

Uum mengatakan, bentuk kekerasan paling banyak pada tahun 2022 adalah kekerasan psikis sejumlah 79 kasus. Lalu kekerasan seksual 73 kasus. Kemudian kekerasan fisik 20 kasus dan penelantaran 4 kasus.

"Jenis kekerasan paling banyak di tahun 2022 itu kekerasan terhadap anak 157 kasus. Lalu disusul kekerasan terhadap istri 134 kasus. Kemudian kekerasan terhadap perempuan 103 kasus. Secara total semuanya, laporan kekerasan tahun 2022 itu meningkat dari 362 menjadi 465 kasus," tuturnya.

Semua laporan tersebut diproses oleh DP3A melalui lembaga-lembaga yang tersedia, seperti UPTD PPA, Pusat Pelayanan dan Pemberdayaan Perempuan (PUSPEL PP), Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), dan Puspaga. 

Namun, ia mengakui tidak semua kasus yang masuk bisa dengan mudah diselesaikan. Perlu adanya uji kondisi psikologis korban. Butuh 2-8 kali pendampingan konseling, terutama pendampingan hukum.

"Ini yang mengakibatkan tidak semua kasus bisa diselesaikan atau ditutup. Keluarga juga memiliki peran penting. Banyak kasusnya yang datang ke kami itu baru 2 kali, tapi setelah itu tidak datang lagi," terangnya.

Ia menambahkan, DP3A juga memiliki layanan penjangkauan. Para petugas akan datang untuk mendampingi langsung ke rumah korban, terutama bagi korban disabilitas dan lansia.

"Di UPTD PPA ada konselor, advokat, dan psikolog. Kami akan bantu mediasi, pendampingan hukum, bahkan ada tempat penampungan sementara selama 14 hari. Bagi masyarakat yang mengalami kekerasan, silakan langsung hubungi kami," katanya.

Respon serupa juga diungkapkan Kepala Unit PPA Polrestabes Bandung, AKP Tuti Purnati. Ia mengakui, sulitnya memproses kasus kekerasan seksual perempuan dan anak.

"Kadang korban tidak mau diproses lagi. Padahal kita harus tahu sedalam-dalamnya tentang kasus tersebut. Tapi ternyata saat kita tangani, korban sudah tidak bisa dihubungi," ungkap Tuti.

Ia menambahkan, untuk menghadirkan saksi terkait kasus kekerasan seksual juga sulit. Kebanyakan orang tidak mau jika harus berhubungan dengan polisi. Belum lagi bukti-bukti yang sulit dikumpulkan.

"Misal, ada yang cat calling atau pelecehan seksual verbal, bukti-buktinya itu sulit untuk dikumpulkan. Jadi pada akhirnya kami mengacu pada KUHAP karena butuh pembuktian yang memang jelas," jelasnya.

Belum lagi hasil visum yang terlalu lama dari sejak kejadian. Tuti mengakui, sampai saat ini untuk visum masih dikenakan biaya, apalagi di RS swasta, bisa mencapai Rp450.000.

"Sedangkan korban kekerasan itu rata-rata ekonominya kurang. Kita sebenarnya punya fasilitas RS Polri. Tapi waktunya hanya sampai pukul 12.00 WIB," tandasnya.

Editor : Rizal Fadillah

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network