Selain berkomunikasi dengan kampus, menjaga hubungan dengan keluarga mahasiswa juga dilakukan Ledia di antaranya dengan mengunjungi rumah penerima KIP Kuliah.
“Selama ini setiap kali kami datang ke keluarga penerima KIP Kuliah yang ada adalah berat menahan tangis. Terharu sangat. Pekerjaan orang tuanya macam-macam. Rata-rata buruh, pedagang kaki lima, pekerja serabutan, dan banyak juga yatim. Para penerima KIP Kuliah ini juga berjuang keras," terangnya.
"Ada yang rela jalan kaki 6 km pulang pergi ke kampus untuk menghemat biaya. Ada yang bantu-bantu jualan orang tuanya sebelum atau sesudah kuliah. Tidak sedikit yang mengaku setiap hari bawa minum dan makan dari rumah demi tidak perlu keluar uang untuk jajan di kampus dan sebagian besar memilih naik motor agar tidak usah keluar uang kos. Dan mereka tetap mampu menjaga IPK-nya di atas 3. Masya Allah, terharu sangat,” lanjutnya.
Karena itu, Ledia mengajak masyarakat bersikap adil dalam menyikapi persoalan KIP Kuliah ini.
“Segala ketidaktepatan harus dikoreksi. Syarat dan Ketentuan harus ditepati oleh calon penerima KIP Kuliah. Penerima KIP Kuliah yang ekonominya “naik kelas” harus mau undur diri dari program. Kampus harus mau melakukan monitoring dan evaluasi. Maka insya Allah program yang baik ini akan sampai pada tujuannya yaitu meningkatkan perluasan akses dan kesempatan belajar di perguruan tinggi secara lebih merata dan berkualitas bagi masyarakat yang kurang atau tidak mampu secara ekonomi,” tandasnya.
Editor : Rizal Fadillah
Artikel Terkait