BANDUNG, iNewsBandungRaya.id -Minyak tua di Indonesia, yang pertama kali dibor sebelum tahun 1970, kini menjadi isu strategis dalam industri minyak dan gas (migas) nasional. Sayangnya, sumur-sumur yang tersebar di wilayah kerja Kontrak Karya (KK) tersebut tidak lagi diusahakan, sehingga menyisakan berbagai tantangan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang harus segera ditangani.
Direktur Komunitas Tata Kelola Tambang & Sumur Migas (KT2 Migas), Januardi Turnip mengungkap, pemerintah melalui Kementerian energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memang mulai memberikan perhatian terhadap potensi sumur-sumur tua. Namun, temuan sumur minyak baru yang jumlahnya melebihi sumur tua, tetap harus mendapat fokus lebih besar.
Menurutnya, sumur-sumur minyak tersebut adalah sumber daya yang sangat potensial untuk mendukung kebutuhan energi bangsa. Namun, selama ini banyak diabaikan sehingga menjadi lahan praktik-praktik ilegal yang melibatkan oknum-oknum aparat.
"Jika potensi seluruh sumur itu ditata kelola dengan baik maka angkanya bisa sampai di kisaran 60.000-75.000 barrel per hari. Itu hampir setara dengan 10 persen lifting minyak bangsa kita tahun ini,” ungkap Januardi dalam sebuah diskusi di kawasan Gedung Sate, Kota Bandung, Minggu (22/12/2024).
Sejarah Panjang Migas di Indonesia
Industri migas Indonesia memiliki sejarah panjang sejak akhir abad ke-19. Sumur minyak pertama, Maja 1, dibor Jan Reerink pada 1871 di kaki Gunung Ciremai, Majalengka. Namun, pengelolaannya tidak bertahan lama karena keterbatasan modal.
Editor : Abdul Basir