Tukin Dosen Tidak Cair, Anggota Komisi X DPR RI Khawatir Ilmuwan Indonesia Hengkang ke Luar Negeri

Agus Warsudi
Anggota Komisi X DPR RI Habib Syarif Muhammad Alaydrus mendesak Kemendiktisaintek segera membayar tukin dosen ASN. (FOTO: AGUS WARSUDI)

BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKB Habib Syarief Muhammad Alaydus khawatir terjadi eksodus ilmuwan dan akademisi andal Indonesia ke luar negeri karena merasa kesejahteraan mereka tidak diperhatikan oleh negara.

Selain itu, mahasiswa Indonesia yang saat ini masih menimba ilmu di luar negeri pun bisa saja enggan kembali ke Tanah Air.

"Yang saya khawatirkan, jika tukin dosen tidak dibayarkan akan terjadi eksodus ilmuwan Indonesia ke luar negeri. Kemudian, mahasiswa yang saat ini menimba ilmu di luar negeri enggan kembali ke Indonesia," kata Habib Syarif Alaydrus, Rabu (15/1/2025).

Kekhawatiran Habib Syarif Alaydrus ini muncul setelah Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi (Kemendiktisaintek) tidak membayar tunjangan kinerja (tukin) dosen ASN yang anggarannya telah disetujui oleh Komisi X DPR RI periode 2019-2024 dan Kemendikbudristek Nadiem Makarim.

"Kemendiktisaintek tidak membayarkan tukin dosen dengan alasan telah berganti nomenklatur. Alasan itu tidak bisa diterima karena, anggaran tukin telah disetujui oleh Kemendikbud Ristek dan Komisi X DPR RI periode yang lalu," ujar Habib Syarif Alaydrus. 

Habib Syarif Alaydrus mendesak Kemendiktisaintek segera membayar tukin dosen. Bahkan Habib Syarif mendorong kementerian meningkatkan nilai tukin dosen ASN, bukan juga dihapus.

Tunjangan kinerja, tutur Habib Syarif, merupakan hak para dosen ASN dan berdasarkan kesepakatan antara Komisi X DPR RI dan Kemendikbud Ristek, harus dibayarkan pada Januari 2025.

Selain itu, tukin dosen ASN telah diatur dalam Keputusan Mendikbud Ristek Nomor 447/P/2024 yang ditandatangani oleh Menteri Kemendikbud Ristek Nadiem Makarim. 

Terkait tukin dosen ASN yang belum cair, Habib Syarief meminta Ketua Komisi X DPR RI segera memanggil Menteri Diktisaintek Satryo Soemantri Brodjonegoro dan jajaran Kemdiktisaintek untuk menjelaskan soal tukin dosen ASN yang sampai saat ini belum dibayarkan.

"Kalau belum cair, kami mendesak agar segera dicairkan. Saya mendesak Ketua Komisi X DPR RI memanggil Kemendiktisaintek, secepatnya. Walaupun bagaimana, ini (tukin) hak mereka (dosen ASN)," tutur Habib Syarif.

Habib Syarif menginginkan persoalan ini bisa secepatnya diselesaikan oleh pemerintah. "Jangan sampai dosen turun ke jalan kasihan harus demo dan sebagainya. Mendesak agar dipanggil secepatnya kami minta kejelasan agar tidak simpang siur," ucapnya.

Habib Syarif menyatakan, sebelum persoalan tukin dosen ini mencuat, Komisi X DPR RI telah menggelar rapat dengar pendapat dengan perwakilan Aliansi Dosen ASN Kementeritan Pendidikan, Sains dan Teknologi Seluruh Rakyat Indonesia (Adaksi).

Beberapa dosen menceritakan nasib mereka yang semakin miris secara ekonomi karena tunjangan kinerja belum dibayar oleh Kemendiktisaintek.

"Saya masih ingat dalam rapat Komisi X dengan Kemendiktisaintek pada Desember 2024 lalu, telah diusulkan tambahan anggaran untuk tunjangan kinerja Dosen sebesar Rp10,7 triliun," ujar Habib Syarif.

Habib Syarif menuturkan, alasan yuridis tukin dosen ASN harus dibayarkan, adalah Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Jadi terdapat tiga periodesasi. Periode I adalah sebelum UU 5/2014, periode II adalah masa berlakunya UU 5/2014, dan oeriode III adalah masa berlakunya Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara yang mencabut UU 5/2014. 

"Ini perlu saya uraikan yuridis historisnya. Tukin dosen ASN ini telah melewati perjalanan panjang, sejak Kemendikbud (hingga 2014), kemudian menjadi Kemenristekdikti (2015-2019). Kemudian menjadi Kemendikbud (Des 2019) dan Kemendikbudristek (April 2021-2024) dan ternyata juga muncul pada zaman Kemendiktisaintek saat ini," tuturnya.

Sebelum UU 5/2014, kata Habib Syarif, dosen tidak mendapatkan tukin karena ada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 88 Tahun 2013 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun Setelah lahir UU 5/2014 dengan Perpres 151/2015 dan Perpres/ 2018, seharusnya dosen telah mendapatkan tukin. 

Tetapi, kemudian keberadaan tukin dosen hilang, karena kehadiran Perpres 138/2015, Perpres 32/2016, dan Perpres 131/2018. Kemudian, muncul Perpres 136/2018 dan Permendikbud 49/2020 yang menjadi landasan yuridis tukin dosen ASN. Namun tukin dosen ASN tidak kunjung dibayarkan. 

Ketika Kemdikbud berubah nomenklatur menjadi Kemendikbudristek, Perpres 136/2018 dan Permendikbud 49/2020 masih berlaku , tetapi tukin kembali tidak dibayarkan.

"Bagi saya, regulasi yang ada saat ini menjadi landasan kuat, sehingga penyimpangan terhadapnya merupakan pengabaian hukum serius, karena menyangkut hak individu manusia," ucap Habib Syarif.

Alasan kedua, ujarnya, sosiologis. Pendidikan yang baik, adalah kebutuhan penting bagi kemajuan suatu bangsa dan negara. Arsitektur pendidikan yang dirancang, wajib memastikan dibangun dengan pilar kokoh. 

Maka, pilar manusia, yakni, pendidik, harus dihormati secara pantas. Jika tidak, perlahan akan rapuh. Mereka akan beralih ke pihak yang menghormati. Inilah cikal bakal berkembangnya fenomena brain drain.

"Secara sederhana brain drain atau human capital flight merupakan hengkangnya kaum intelektual, ilmuwan, cendikiawan dari negerinya sendiri dan menetap di luar negeri. Alasan yang melatarbelakanginya beragam. Contoh, Albert Eisntein yang tidak kembali ke Jerman pada 1933, ketika tengah berkunjung ke AS karena rumahnya diambil alih oleh Nazi. Ketika itu dia dan ilmuwan-ilmuwan Yahudi diburu Nazi," ujarnya.

Saat ini, fenomena brain drain terjadi di Indonesia. Kendati bukan hal baru, karena pada tahun 1980-an, ketika Menristek BJ Habibie mengirim ratusan remaja potensial untuk belajar ke luar negeri. 

Banyak para lulusan perguruan tinggi luar negeri yang tak mau berkhidmat di dalam negeri. Mereka banyak yang memilih bekerja di berbagai perusahaan di Amerika Serikat. 

"Saat ini angka brain drain dan indeks human flight di Indonesia telah mencapai peringkat 82 (angka 5,7) pada 2023. Semakin tinggi angkanya, semakin banyak orang merasa bahwa Indonesia bukan tempat yang tepat untuk berkarier," tutur Habib Syarif. 

Habib Syarif mengatakan, saat ini tengah terjadi brain drain campus, yaitu, ketika para ahli, ilmuwan atau pendidik akhirnya memilih berpindah ke kampus di luar negeri. Ada yang tengah belajar di luar negeri, kemudian tidak kembali, memilih berhenti menjadi pengajar di Indonesia dan mencari pekerjaan menjadi dosen di kampus luar negeri.

"Alasan sosiologis lainnya, adalah keprihatian mendalam ketika para pendidik akhirnya terjerat pinjaman online (pinjol) atau memiliki utang. Saya mau menceritakan ulang, kisah yang disampaikan oleh teman-teman dari Serikat Pekerja Kampus ketika RDP di Komisi X pada awal November 2024. Terdapat dosen yang hendak bunuh diri, karena terlilit utang pinjol," ucapnya. 

Editor : Agus Warsudi

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network