Tanggapan Direktur Ekonomi Celios soal Wacana THR Bagi Pekerja Gig

Abdul Basir
Ilustrasi driver ojek online. Foto: Istockphoto.

BANDUNG, iNewsBandungraya.id - Seperti sudah rutinitas, isu pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) bagi driver transportasi online muncul ketika mendekati bulan Ramadhan dan Lebaran. Tahun 2025, isu pemberian THR ini muncul ketika demo driver transportasi online pada 17 Februari 2025 yang lalu. 

Tuntutan yang dibacakan juga masih seputar pemberian THR hingga memicu komentar dari Menteri dan Wakil Menteri Ketenagakerjaan. Sebelum membahas ke arah pemberian THR, ada baiknya pembahasan dimulai dari status driver transportasi online.

Demikian diutarakan Direktur Ekonomi, Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda menanggapi wacana pemberian THR bagi driver transportasi online atau gig dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (1/3/2025).

Dalam laporan Celios (2024), driver transportasi online sangat dekat dengan definisi pekerja gig.Pekerja gig sendiri, merupakan pekerja dengan sumber penghasilan. Pekerja gig sendiri terbagi menjadi dua tipe,yaitu location-based gig worker dan online based gig worker. 

Driver transportasi online dapat dimasukkan ke dalam location-based gig worker dimana istilah ini mengacu pada pekerja gig yang melakukan tugas atau proyek berdasarkan lokasi geografis tertentu. Artinya, pekerja ini menangani pekerjaan atau proyek yang membutuhkan kehadiran fisik di lokasi tertentu, biasanya dalam batas-batas geografis tertentu.

“Pekerja gig, status pekerjanya bukanlah pekerja formal seperti pada umum-nya,” katanya.

Pekerja gig menggunakan pendekatan kemitraan alih-alih pekerja formal. Tentu, status pekerjaan yang berbentuk kemitraan membuat pembahasan mengenai THR ini tidak kunjung selesai. Secara Hukum, THR hanya diberikan kepada pekerja tetap dan tidak tetap. Namun demikian,status pekerja gig adalah kemitraan yang diatur oleh UU nomor 20 tahun 2008. Demikian pula, status dari platform penyedia pekerjaan gig bukan perusahaan yang memiliki pekerja gig.

Status kemitraan ini yang belum dipahami oleh pemangku kebijakan dimana status pekerja gig,seperti driver transportasi online, masih belum jelas. Tidak ada kesepakatan resmi bahwa pekerja gig ini sebagai kemitraan. Maka dari itu, pekerja gig sering berharap aturannya disamakan dengan pekerja formal. Padahal, kontrak kerja-nya berbentuk kemitraan yang dekat dengan pengaturan di Kementerian UMKM, bukan di Kementerian Ketenagakerjaan.

Platform digital mempunyai bentuk two-sided market atau pasar dua sisi dimana platform melayani dua jenis konsumen. Konsumen pertama adalah para konsumen akhir, seperti contohnya penumpang dalam transportasi online. Konsumen kedua adalah pekerja gig,contohnya adalah driver transportasi online. Platform secara sistem kerja mempertemukan konsumen dalam satu wadah. Ada interaksi langsung antar jenis konsumen yang difasilitasi oleh platform.

Pemberian tambahan pendapatan bagi mitra pekerja gig dapat mempengaruhi dari sisi ekosistem dan juga permintaan dari konsumen akhir. Ketika beban operasional meningkat, maka akan berpengaruh terhadap harga jual kepada konsumen. Pada akhirnya, konsumen akan mendapatkan harga yang lebih tinggi, dan menurunkan permintaan. Secara agregat,pendapatan mitra bisa berkurang.

Dengan definisi pekerja gig, jenis kemitraan, kondisi bentuk pasar, dan dampak kebijakan, bukan persoalan gampang bagi pemerintah untuk mengatur pekerja gig, termasuk juga pemberian THR bagi pekerja gig. Perlu pendalaman mengenai karakteristik dan hubungan antara konsumen dan platform digital. Tidak seperti hubungan ekonomi pada umumnya, tapi sistem ekonomi menggunakan platform harus menjaga keseimbangan antara permintaan dan penawaran dari jenis konsumen yang berbeda.

Bisa dikatakan, alih-alih mendorong adanya THR yang tidak ada aturan resminya, lebih baik pemerintah memikirkan untuk memberikan jaring pengaman sosial bagi pekerja gig, termasuk driver transportasi online. Perlindungan kesehatan, keselamatan kerja, serta jaminan sosial harus menjadi prioritas utama. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik(BPS) (diolah, 2023) menunjukkan bahwa hanya 8,1 persen pekerja informal yang mempunyai jaminan ketenagakerjaan, termasuk di dalamnya adalah driver transportasi online.

Lebih lanjut lagi, hanya 5,8 persen pekerja gig di Indonesia yang mempunyai jaminan kesehatan.Hanya 7,25 persen pekerja gig yang mempunyai jaminan kecelakaan kerja. Jadi masalah jaring pengaman sosial ini lebih konkrit untuk diselesaikan. Skema yang melibatkan pembagian tanggung jawab antara perusahaan, pemerintah, dan driver sendiri perlu dirancang agarekosistem ini tetap berkelanjutan dan adil bagi semua pihak.

Lebih dari itu, pemerintah harus segera mengambil langkah konkret dengan menyusun regulasi yang kuat untuk ekonomi digital. Hubungan kemitraan antara platform dan pekerja digital harus diatur dengan lebih baik agar tidak terjadi eksploitasi. Model Gig Economy memang menawarkan fleksibilitas bagi pekerja, tetapi fleksibilitas ini harus dibarengi dengan perlindungan yang layak.Perlindungan ini dapat diejawantahkan dalam penyetaraan posisi pekerja gig dan platform.

Dalam pengaturan hubungan antara platform dan kedua sisi konsumen, perlu ada penyetaraan.Kesetaraan ini juga berhubungan dengan bisnis berbasis kemitraan setara antara platform dan pekerja gig. Kesetaraan ini diperlukan untuk bisa membuat daya tawar masing-masing pihak setara. Misalkan, ada kebebasan bagi driver memilih hari kerja tanpa ada paksaan dari platform.

Platform pun dengan sadar harus memberikan keleluasaan bagi mitra untuk memilih apakah bekerja di hari tersebut atau tidak tanpa ada konsekuensi apapun dari platform. Kesetaraan ini juga menjunjung karakteristik fleksibilitas dalam ekonomi gig.

Kembali ke awal, isu pemberian THR yang selalu diulang merupakan salah langkah yang diambil oleh driver transportasi online. Kita perlu mendorong platform dan pemerintah untuk menuntaskan permasalahan yang lebih krusial, yaitu pemberian jaring pengaman sosial dan kesetaraan hubungan. Maka dari itu, pemerintah, platform, driver transportasi online, dan perwakilan penumpang perlu duduk bersama untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang bersifat melindungi semua pihak serta memberikan pengaturan yang adil bagi semua pelaku di ekosistem transportasi online. (*)

Editor : Abdul Basir

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network