Sebagai perbandingan, di negara-negara dengan sistem intelijen yang lebih matang, agen intelijen umumnya tidak memiliki identitas yang mudah dikenali. Mereka bekerja dalam bayang-bayang, berbaur dengan masyarakat, dan membangun jejaring tanpa mengungkapkan afiliasi mereka secara langsung.
"Membangun kultur intelijen yang profesional berarti memastikan bahwa agen tetap bekerja dalam kerahasiaan, tanpa perlu eksposur berlebihan," tegas Rodon, salah satu narasumber.
Para peserta diskusi sepakat bahwa reformasi intelijen yang komprehensif diperlukan untuk memperkuat BIN sebagai institusi profesional yang mampu menghadapi berbagai ancaman dan tantangan di masa depan. Kehadiran tokoh berpengalaman yang memahami kultur intelijen di BIN menjadi prioritas penting.
Yang tidak kalah penting, adalah isu pengawasan. Muhamad Haripin dari BRIN menyampaikan bahwa sebagai lembaga yang memiliki kewenangan luas, BIN juga harus berada di bawah mekanisme pengawasan yang ketat agar tidak menyalahgunakan kekuasaannya.
"Salah satu tantangan terbesar dalam sistem intelijen Indonesia adalah tumpang tindih kewenangan antar-lembaga, serta kurangnya transparansi dalam pertanggungjawaban anggaran dan operasional," katanya.
Editor : Rizal Fadillah
Artikel Terkait