“Kami butuh kepastian. Jangan cuma diumumkan di media, ajak kami bicara. Kalau gak bisa narik lagi, kami makan dari mana?”
Di sisi lain, sebagian sopir muda menyambut baik perubahan. Panca, yang juga menjadi ojek daring, merasa lebih siap karena terbiasa dengan sistem digital.
“Saya biasa pakai aplikasi. Tapi pemerintah harus tetap perhatikan nasib sopir senior. Harus ada pelatihan, bantuan transisi, dan jaminan penghasilan,” ujarnya.
Ion, sopir lain yang ditemui di terminal, menyoroti persoalan penghasilan. Ia mendukung pembaruan sistem trayek asalkan tidak berdampak pada jumlah penumpang.
“Kalau pendapatan tetap aman, ya gak masalah. Tapi kalau rutenya berubah dan penumpang sepi, kami yang rugi,” kata Ion. Ia menyebut saat ini penghasilan sopir rata-rata hanya Rp100 ribu per hari.
Berbeda dengan Panca dan Ion, Ferry (40) mengaku menolak rencana Angkot Pintar.
“Gak setuju atuh. Sekarang aja sepi, kadang sehari cuma bawa satu penumpang. Buat bensin aja gak cukup,” keluhnya.
Meski beragam, suara para sopir angkot di Bandung berpadu pada satu hal mereka ingin dilibatkan dalam setiap tahap perubahan.
“Kami ini bukan penghalang kemajuan. Kami bagian dari solusi. Asal diberi tempat,” tegas Dadang menutup perbincangan.
Editor : Rizal Fadillah
Artikel Terkait