IAW Minta Reformasi Total BPJS dan Audit Independen Sistem

Abdul Basir
Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus. (Foto:Istimewa)

BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menyoroti proses suksesi kepemimpinan di tubuh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang dinilai cacat hukum dan syarat konflik kepentingan. 

Ia mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera turun tangan menyelamatkan sistem jaminan sosial nasional demi menghindari resiko besar terhadap pelayanan kesehatan rakyat.

"BPJS dalam fase suksesi, saat ini adalah waktu yang krusial untuk memperbaiki carut-marut pengelolaan BPJS. Jangan sampai salah pilih dan keluar regulasi maupun etika. Jangan sampai BPJS tinggal nama," ujar Iskandar dalam keterangannya, Senin (8/9/2025).

Menurut Iskandar, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) telah melangkahi wewenangnya dengan membentuk Panitia Seleksi (Pansel) secara tidak profesional. Ia menyebut proses tersebut dilakukan tanpa memperhatikan dampak jangka panjang terhadap keberlangsungan BPJS.

Dalam prosesnya, DJSN dinilai menyelipkan nama-nama bermasalah sebagai calon anggota Pansel, termasuk mantan Dirut BPJS yang kinerjanya dipertanyakan, bahkan ada yang disebut telah "kabur" dari BPJS sebelum masa tugasnya berakhir.

Selain itu, DJSN juga diduga mengusulkan nama-nama dari internal mereka sendiri dan pengamat yang juga pengurus organisasi pekerja sebagai anggota Pansel, padahal hal ini bertentangan dengan peraturan yang berlaku.

"Ini bukan sekadar pelanggaran prosedur, ini bom waktu bagi stabilitas fiskal dan pelayanan kesehatan 278 juta rakyat Indonesia. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto harus memutus sumbu ini sebelum meledak," tegasnya.

Iskandar mengutip Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 81 Tahun 2015 yang secara jelas mengatur kewenangan pembentukan Pansel. Dalam pasal 10 ayat (3–4) disebutkan bahwa hanya Menteri Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan yang berwenang mengusulkan nama-nama Pansel. Sedangkan DJSN hanya berwenang mengusulkan dari unsur masyarakat, bukan turut menjadi calon anggota Pansel.

Dalam pasal 18 ditegaskan bahwa anggota Pansel tidak boleh menjadi calon direksi atau dewan pengawas. Selain itu, Perpres juga secara spesifik menyebut bahwa unsur masyarakat dalam Pansel harus merupakan tokoh yang “ahli” di bidang-bidang tertentu, bukan sekadar pengamat.

Namun, kenyataannya, menurut Iskandar, DJSN justru mengajukan calon yang tidak sesuai kualifikasi, termasuk mantan petinggi BPJS dan pengurus organisasi pekerja.

"Ini adalah pelanggaran etika, dan sesuai regulasi tugas DJSN tidak untuk menjadi anggota Pansel, kecuali anggota DJSN dari unsur pemerintah. Akan sangat tidak etis lagi, karena fungsi DJSN adalah mengawasi dan memutuskan siapa direksi BPJS," tegas Iskandar.

Ia mempertanyakan objektivitas DJSN jika harus mengawasi direksi BPJS yang mereka pilih sendiri. Pembagian peran, kata dia, sudah diatur dalam Undang-Undang dan melanggarnya adalah pelanggaran etik. Ia juga menyoroti pengajuan pengamat bukan ahli dalam Pansel oleh DJSN sebagai langkah yang tidak sesuai amanat Perpres.

"Ini bukan sekadar salah prosedur, tapi pengkhianatan terhadap hak rakyat atas tata kelola bersih. Bila fondasi hukum dilanggar dan etika diabaikan, layanan di hilir pasti akan kacau," tuturnya.

Lebih lanjut, Iskandar mengungkapkan sejumlah persoalan mendasar di BPJS yang menunjukkan bahwa lembaga ini masih jauh dari ideal. Mulai dari defisit akut, data peserta yang amburadul, hingga strategi investasi yang konservatif dan rawan.

Ia menyebut BPJS Kesehatan pernah mengalami defisit Rp125 triliun pada 2019, dan ditekan menjadi Rp32,4 triliun pada 2023 dengan menaikkan iuran rakyat. Subsidi Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari APBN mencapai Rp53,6 triliun pada 2024. Di sisi lain, klaim penyakit besar seperti jantung dan kanker menghabiskan Rp34,7 triliun.

Sementara BPJS Ketenagakerjaan, meski memiliki aset lebih dari Rp500 triliun dengan surplus Rp18,2 triliun, dinilai masih lemah dalam strategi investasi karena tidak ada mekanisme cut-loss. Menurut Iskandar, ini semua menjadi peringatan keras akan rapuhnya sistem jaminan sosial saat ini.

"Angka-angka itu adalah lampu merah untuk kesehatan nasional. Dan perlu penyegaran Dewan Direksi yang lebih mumpuni. Jika perlu Direksi lama disegarkan dengan Direksi Baru yang lebih mampu menyelesaikan tantangan yang akan lebih berat di tahun-tahun mendatang," terangnya.

Iskandar juga menyinggung dampak nyata dari kekacauan ini, seperti antrian pasien yang mengular akibat rumah sakit mulai menolak melayani pasien BPJS karena klaim terlambat. Defisit BPJS pun menjadi beban negara yang akhirnya menekan APBN.

Dana BPJS Ketenagakerjaan disebut sebagai tabungan masa tua buruh, yang jika salah kelola, akan merugikan jutaan pekerja.

Sebagai solusi, IAW merekomendasikan agar:

1. Usulan nama calon Pansel dari DJSN yang cacat hukum dicabut;

2. Mensesneg menyerahkan pembentukan Pansel kepada Menteri Kesehatan dan Ketenagakerjaan sesuai Perpres;

3. Audit independen menyeluruh terhadap seluruh lini BPJS;

4. Judicial review ke Mahkamah Agung untuk memperjelas batas kewenangan DJSN;

5. Teguran keras kepada DJSN, bahkan pembubaran jika terbukti melanggar etika;

6. Transparansi total dengan mempublikasikan laporan keuangan dan LHP BPK.

Iskandar menegaskan bahwa BPJS adalah amanat konstitusi untuk melindungi rakyat, bukan alat kepentingan politik. Ia menilai Presiden Prabowo memiliki momentum besar untuk memperbaiki sistem ini secara menyeluruh. "Jangan tunggu sampai bom waktu ini meledak. Bapak Presiden agar segera bertindak," pungkasnya. (*)

 

Editor : Abdul Basir

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network