Puluhan Triliun Beli Alat Canggih Intelijen, IAW: Mengapa Tak Bisa Cegah Provokasi Unjuk Rasa?

Abbas Ibnu Assarani
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus. (Foto:Istimewa)

BANDUNG, iNewsBandungraya.id -Pengawasan digital berbiaya tinggi belum mampu mencegah kekacauan massal. Puluhan triliun rupiah yang telah dibelanjakan negara untuk teknologi intelijen mutakhir tampak sia-sia saat demonstrasi akhir Agustus lalu justru menelan korban jiwa dan kerusakan besar.

Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) mengatakan beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menggelontorkan dana jumbo untuk sistem pengawasan canggih seperti spyware, lawful intercept, dan digital command system. Namun ironisnya, ketika terjadi gelombang protes nasional pada akhir Agustus 2025, perangkat tersebut tidak menunjukkan kontribusi berarti dalam meredam eskalasi atau menyelamatkan warga.

Menurutnya, ini berbanding terbalik dengan situasi reformasi 1998, ketika aparat menghadapi krisis sosial tanpa bantuan teknologi mutakhir. Kala itu, informasi didapat hanya dari metode konvensional, intelijen lapangan, informan, dan observasi fisik. Hasilnya tragis lebih dari seribu nyawa melayang dan kerugian mencapai triliunan rupiah.

“Saat itu sekelompok orang menggunakan isu etnis sebagai kambing hitam untuk mengalihkan perhatian dari krisis ekonomi. Tanpa alat deteksi dini, narasi isu itu menyebar cepat dan memicu kekerasan massal,” ujar Iskandar Sitorus dalam keterangan tertulisnya, Selasa (2/9/2025).

Kini, meski pemerintah memiliki piranti pengawasan berkelas premium, nyawa tetap melayang. Kerusuhan yang terjadi antara 25 hingga 31 Agustus 2025 menewaskan 6–8 orang, mengakibatkan ribuan penangkapan, dan menyebabkan puluhan gedung dibakar massa. Infrastruktur umum ikut jadi korban, mulai dari halte TransJakarta hingga fasilitas MRT dan jalan tol. Kerugian material ditaksir besar, meski belum dihitung secara resmi.

Masalahnya, menurut IAW, bukan sekadar soal ketersediaan teknologi, melainkan bagaimana alat-alat itu dibeli dan digunakan. Sejak 2017, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan pola pengadaan yang tidak efisien dan tak transparan, penggunaan istilah samar seperti ‘sistem khusus’ proyek tanpa tender terbuka, hingga ketidakjelasan hasil.

Editor : Abdul Basir

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2 3 4

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network