Cyberbullying Melonjak, Habib Syarief Minta Negara Wajibkan Rehabilitasi Reputasi Digital

Susana
Komisi X DPR RI bersama Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) di Jakarta, Rabu (26/11/2025). Foto: Ist.

BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Anggota Komisi X DPR RI Fraksi PKB, Habib Syarief, menegaskan bahwa percepatan digitalisasi pembelajaran harus dibarengi dengan fondasi etika, keamanan, dan kekuatan literasi yang matang.

Hal tersebut disampaikan dalam rapat kerja Komisi X DPR RI bersama Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) di Jakarta, Rabu (26/11/2025).

Dalam pandangannya, program digital pembelajaran yang diluncurkan pemerintah merupakan lompatan penting. Namun, Habib mengingatkan bahwa setiap kebijakan besar selalu memiliki dua sisi, manfaat dan risiko, yang harus diprediksi sejak awal.

“Digitalisasi itu sudah tak terhindarkan, tetapi kita tidak boleh menutup mata terhadap dampak negatifnya. Para pendidik kini banyak yang kebingungan menghadapi perubahan yang terlalu cepat,” ujar Habib.

Kebingungan Pendidik dan Minimnya Fondasi Etika Digital

Dalam sesi tersebut, Habib memulai dengan mengutip sebuah paragraf dalam buku Menteri Pendidikan tentang visi “kesalehan digital” sebagai fondasi bangsa masa depan.

Ia menilai gagasan itu penting, tetapi masih menyisakan pertanyaan besar: bagaimana memastikan moralitas dan etika tetap berdiri kokoh saat teknologi menjadi medium utama belajar?

Ia mengungkap bahwa banyak siswa hanya mampu menyerap sebagian kecil nilai positif dari dunia digital, sementara sisi negatifnya justru lebih mudah merasuki kehidupan mereka, mulai dari cyberbullying, paparan konten berbahaya, hingga hilangnya batas etika dalam berkomunikasi.

Tiga Pilar Transformasi Digital untuk Pendidikan Indonesia

Untuk menjawab tantangan tersebut, Habib Syarief menawarkan tiga pilar transformatif sebagai landasan penguatan digitalisasi pendidikan:

1. Kembaran Digital (Digital Twin) Berbasis Etika dan Keamanan Anak

Ia mengusulkan pengembangan digital twin, yaitu ekosistem digital personal bagi peserta didik yang dilengkapi filter adaptif berbasis AI. Teknologi ini dapat mendeteksi ancaman, memblokir konten negatif, serta memberi ruang pembelajaran yang aman dan terarah.

Habib menilai kembaran digital penting karena banyak pendidik kini kewalahan mengawasi perilaku siswa di dunia maya.

“Tanpa fondasi etika digital, teknologi hanya akan menjadi ruang yang membingungkan bagi anak-anak,” katanya.

2. Forum Fatwa Digital sebagai Rujukan Etika Siber

Ia mendorong pembentukan forum lintas disiplin, melibatkan ulama, ahli hukum, pakar sosial, dan teknologi untuk merumuskan fatwa digital sebagai panduan moral masyarakat. Menurutnya, ruang digital membutuhkan pedoman kebajikan baru, bukan hanya hukum halal-haram.

Fatwa digital ini diharapkan dapat menyentuh isu interaksi siber seperti larangan menggunjing, memata-matai, fitnah digital, serta etika bermedia sosial. Hingga kini, menurut Habib, belum ada lembaga yang mengkaji secara komprehensif etika ruang digital bagi masyarakat Indonesia.

3. Hak Rehabilitasi Reputasi Digital bagi Korban Perundungan Siber

Habib menyoroti banyaknya korban digital bullying yang tidak mendapatkan pemulihan layak. Kondisi ini bahkan membuat psikolog kewalahan karena belum ada mekanisme yang jelas untuk membantu korban memperbaiki reputasi digitalnya.

Ia mengusulkan mandat hak rehabilitasi digital, yaitu kewajiban platform untuk menghapus jejak konten perundungan, mengangkat konten positif korban dalam hasil pencarian, menyediakan mekanisme hukum untuk menghapus riwayat digital yang tidak relevan, serta mendukung program pemulihan psikologi digital.

“Korban perundungan digital bisa jauh lebih banyak daripada ODGJ. Ini masalah besar tetapi belum mencuat ke permukaan,” tegasnya.

Kritik atas Kualitas Bahasa dan Melemahnya Budaya Literasi

Dalam rapat itu, Habib juga menyampaikan keprihatinan mendalam terkait merosotnya kemampuan bahasa Indonesia di kalangan pelajar SMA.

Ia menceritakan pengalamannya mengunjungi beberapa sekolah, di mana siswa banyak menggunakan bahasa campuran yang dipengaruhi konten digital tanpa memahami kaidah baku.

Lebih memprihatinkan lagi, banyak karya sastra klasik Balai Pustaka, seperti Layar Terkembang dan Di Bawah Lindungan Ka’bah yang kini sulit ditemukan. Ia menilai pemerintah perlu menyusun kurikulum literasi yang kuat sekaligus memperbaiki metode pedagogi bahasa Indonesia.

Menyoroti Kebijakan Pendidikan dan Tantangan Anggaran

Habib turut mengulas sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi dalam dua tahun terakhir yang memengaruhi dunia pendidikan, seperti penggratisan wajib belajar 13 tahun dan penghapusan dana bagi perguruan kedinasan dari porsi anggaran pendidikan.

Ia menegaskan bahwa pemerintah perlu memastikan 20% anggaran pendidikan kembali fokus pada Kemendikbud, bukan terserap pada pos lain.

Terkait guru honorer, ia mengkritisi realisasi rekrutmen PPPK yang jauh dari target.

“Dari rencana 600 ribu formasi, yang terealisasi bahkan tidak mencapai 100 ribu. Ini perlu perhatian serius,” ujarnya.

Transformasi Digital Harus Diiringi Kekuatan Literasi

Menutup paparannya, Habib Syarief menekankan bahwa transformasi digital bukan sekadar soal teknologi atau regulasi. Kunci keberhasilan ada pada kompetensi literasi digital anak dan pendidik.

“Anak-anak harus menjadi subjek digital yang berdaya, bukan hanya pengguna. Mereka perlu mampu melindungi diri, berkarya, dan tetap beretika di ruang digital,” pungkasnya.



Editor : Rizal Fadillah

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network