Pada usia 1 tahun 10 bulan, dia pun membawa anaknya ke sana. Setelah konsultasi dengan psikolog, dikatakan bahwa anaknya butuhnya terapi Sensory Integration (SI) dan bukan terapi wicara. Karena, terapi wicara itu dikatakan akan mengikuti.
Kemudian setelah mengikuti terapi SI, menurut Angel, anaknya yang saat itu sudah berusia 3 tahun sudah mulai bicara cuap-cuap tapi tidak bermakna. Baru kemudian, dia disarankan agar anaknya melakukan terapi wicara.
“Kemudian setelah menjalani berbagai proses, saya kemudian disarankan membawa anak saya ke psikiater. Barulah anak saya itu terdeteksi menderita autis. Saat itu putra saya sudah berusia 4 tahun,” paparnya.
Terakait penyebabnya, Angel mengatakan bahwa waktu itu dokter menyampaikan sesuatu yang general saja. Di antaranya bisa faktor genetik, tingkat stress ibu pada saat mengandung, atau virus tertentu yang ada pada ibu pada saat hamil.
“Namun, terlepas dari semuanya itu, dokternya bertanya sampai kapan saya fokus kepada penyebabnya. Lebih baik fokus bagaimana penanganannya atau intervensinya seperti apa. Karena kalau menemukan masalah bahkan sampai dengan detik ini pun tidak ada 100 persen penelitian yang membuktikan penyebab terjadinya autis itu,” kata Angel menyampaikan apa yang disampaikan dokter kepadanya.
“Jadi, saya disarankan fokus pada penanganannya saja dan bukan kepada penyebabnya. Dan sampai sekarang, anak saya masih terapi SI, terapi wicara, behavior, dan perilaku sesuai dengan pertumbuhan usia anak saya. Di mana, dia harus tahu mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang tidak,” tandasnya.
Editor : Rizal Fadillah