"Rokok ilegal sering kali tidak memiliki informasi jelas terkait bahan-bahannya, seperti komposisi, saus, atau kandungan lainnya. Hal ini dapat meningkatkan risiko kesehatan yang lebih besar dibandingkan rokok resmi," ungkapnya.
Dengan risiko kesehatan yang besar tersebut, kata Viky, maka biaya kesehatan yang harus ditanggung masyarakat dan pemerintah menjadi jauh lebih tinggi.
"Akibatnya, biaya kesehatan yang harus ditanggung masyarakat dan pemerintah menjadi jauh lebih tinggi dibandingkan pendapatan yang diperoleh dari peredaran rokok ilegal tersebut," imbuhnya.
Di tempat yang sama, Kepala Sekai Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jabar, Meirna Nurdini mengaku prihatin dengan tingginya angka prevalensi perokok usia anak.
"Pada tahun 2022 angkanya mencapai 9% bisa dibayangkan. Tahun 2023 angkanya menurun sedikit menjadi 8,97%. Harapannya, tahun ini bisa jauh lebih menurun lagi," ucap Meirna.
Editor : Rizal Fadillah