Gerah Doxing dan Ancaman Penyiksaan, Neni Nur Hayati Somasi Pemprov Jabar: Brutalnya Luar Biasa

BANDUNG, iNewsBandungraya.id - Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati, resmi melayangkan somasi kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Jabar pada Senin (21/7/2025). Tindakan hukum ini diambil menyusul dugaan penyalahgunaan fotonya tanpa izin dalam sebuah konten klarifikasi yang dipublikasikan oleh kedua instansi tersebut.
Menurut Neni, publikasi tanpa persetujuannya itu memicu gelombang serangan digital terhadap dirinya, termasuk aksi doxing, peretasan media sosial, hingga ancaman serius terhadap keselamatannya.
Kuasa hukum Neni dari LBH Muhammadiyah, Ikhwan Fahrojhi, menilai tindakan Pemprov Jabar bertentangan dengan prinsip keterbukaan ruang berekspresi di era demokrasi.
“Pemasangan foto itu tanpa izin kemudian memicu terjadinya doxing yang dialami oleh klien kami," jelas Ikhwan saat ditemui di Gedung Sate, Kota Bandung.
Ikhwan menekankan bahwa Neni dikenal sebagai aktivis demokrasi yang aktif menyuarakan isu-isu terkait demokratisasi dan tata kelola pemerintahan yang baik. Ia menambahkan bahwa kritik yang disampaikan Neni selama ini tidak secara khusus ditujukan kepada Pemprov Jabar, melainkan menyasar fenomena umum pencitraan politik dan penggunaan buzzer oleh kepala daerah.
“Itu adalah bagian daripada kritik konstruktif yang seharusnya itu berada dalam perlindungan konstitusional terkait dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat," tegasnya.
Lebih lanjut, Ikhwan menyayangkan tindakan balasan berupa serangan digital terhadap Neni, yang menurutnya merupakan bentuk represi terhadap suara kritis.
"Ketika kemudian ekspresi-ekspresi semacam itu direaksi dengan adanya serangan-serangan doxing, kemudian melakukan peretasan sosial media dan sebagainya, akun-akun klien kami, dan WhatsApp, sampai kemudian WhatsApp juga dilakukan doxing, itu adalah upaya-upaya represi terhadap ruang kebebasan ekspresi dan berpendapat,” ujar Ikhwan.
Di sisi lain, Neni mengaku terpaksa menutup kolom komentar di akun media sosialnya sebagai langkah untuk meredam intensitas serangan.
“Saya memang sering mengkritik pejabat publik lainnya, selain Kang Dedi Mulyadi. Saya banyak mengkritik, termasuk Pak Presiden itu sendiri. Hanya saja, saya belum pernah mendapatkan serangan digital yang sangat parah seperti sekarang. Brutalnya luar biasa, karena ancamannya itu sudah sampai pada ancaman penyiksaan dan lain sebagainya," ungkap Neni.
Ia menegaskan bahwa ancaman yang diterimanya bukan sekadar ujaran kebencian, melainkan sudah masuk kategori serius dan membahayakan.
“Ini yang menurut saya tidak bisa kemudian saya biarkan begitu saja," tegasnya.
Lebih jauh, Neni mempertanyakan respons berlebihan terhadap salah satu video TikTok-nya yang membahas bahaya buzzer terhadap demokrasi, meskipun tidak menyebutkan nama atau instansi secara eksplisit.
"Padahal kalau kita lihat di akun TikTok saya, yang menyebutkan tentang bahaya buzzer untuk demokrasi, itu sama sekali saya tidak menyebutkan secara spesifik seperti yang tadi disampaikan oleh Mas Ikhwan kepada salah satu kepala daerah. Karena yang saya sebutkan adalah siapapun kepala daerah,” ujarnya.
“Jadi, tidak ada mention Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Gubernur Jawa Barat, atau nama Kang Dedi Mulyadi itu sendiri. Saya justru jadi bertanya-tanya juga, kenapa kok merasa resah dengan TikTok saya itu," tutup Neni.
Editor : Agung Bakti Sarasa