Masalah SIM Card Ancam Kedaulatan Digital, IAW Desak Audit Nasional

“Kalau negara gagal menutup lubang ini, maka kita bukan hanya bicara soal kerugian finansial, tapi juga ancaman terhadap pemilu, ketertiban umum, dan integritas demokrasi,” tegas Iskandar.
Tak hanya soal nomor fiktif, IAW juga mengkritik praktik penghangusan kuota oleh operator. Menurut mereka, banyak konsumen membeli paket data besar namun hanya menggunakan sebagian kecilnya. Sisa kuota yang hangus begitu saja tidak mendapat kompensasi maupun sistem pemindahan (rollover) yang adil.
"Hendaknya korporasi provider memiliki moral yang tinggi jika mengetahui posisi konsumennya dirugikan, walau karena regulasi yang belum berlaku adil. Jangan pula malah merasa nyaman bahkan menikmati kondisi 'zona' yang buruk bagi konsumen tersebut. UU Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 memang belum menyentuh ranah perlindungan hak atas kuota digital,” cetusnya.
Dalam pengamatannya, Iskandar menyebut, pemasok kartu SIM di Indonesia terdiri dari vendor global seperti Thales, IDEMIA, dan G+D, serta produsen lokal seperti PT Pelita Teknologi (PGLO). Kartu-kartu tersebut kemudian dipasok ke operator utama di Indonesia. Namun, hingga saat ini belum ada audit menyeluruh yang memeriksa distribusi kartu SIM, sistem enkripsi chip, serta kecocokan antara data pengguna dan kartu aktif secara aktual.
Selama ini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hanya mengaudit laporan keuangan Kominfo serta operator BUMN seperti Telkomsel. Belum ada langkah investigatif terhadap validitas data nasional kartu SIM, termasuk kartu-kartu tidak aktif (zombie SIM), rantai pasok vendor, maupun kerugian konsumen akibat kuota yang hangus.
Editor : Abdul Basir