"Di Bandung mah maneh teh kasar untuk ke bawahan, ka saluhureun (ke yang lebih tua) salira pangersa, tapi di Indramayu, Pantura, Cirebon, maneh itu sudah sopan," ucapnya.
"Tidak bisa langsung dijustifikasi tidak sopan, bukan tidak sopan. Kalau Anda mau mengukur seseorang diluar teritorial kita, jangan menggunakan standar teritorial kita," tandasnya.
Seperti diketahui dikutip dari Instagram @neohistoria.id, pada masa keemasan Kerajaan Sunda di abad ke-16, bahasa Sunda masih sangat egaliter. Hal itu nampak dari naskah-naskah yang ditulis pada zaman tersebut seperti Sanghyang Siksakandang Karesian (1518) dan Carita Parahyangan (sekitar 1580). Bahkan Bujangga Manik, seorang bangsawan Sunda, memakai kata 'Aing' ketika bicara dengan ibunya.
Akan tetapi semua berubah ketika pendiri Mataram, Danang Sutawijaya menguasai Ciamis dan Dayeuhluhur pada 1595. Sesudahnya, penguasa Sumedang, Aria Suriadiwangsa mengakui kekuasaan (overlordship) Penguasa Mataram, Sultan Agung Hanyokrokusumo pada 1620.
Akibatnya, bahasa Jawa Mataraman menjadi bahasa penghubung antara Penguasa Mataram dan Menak Sunda yang ikut mengadopsi budaya feodal ala Mataram termasuk cara berkomunikasi dengan kaum cacah kuricah (rakyat jelata).
Editor : Zhafran Pramoedya
Artikel Terkait