BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai tidak bisa menunjukan bukti yang nyata terhadap Hakim Agung nonaktif Sudrajad Dimyati. Bahkan bukti vital hingga tuntutan dibacakan tak bisa dijelaskan oleh JPU.
Hal ini diutarakan Tim penasehat hukum Sudrajad Dimyati, Firman Wijaya saat kliennya dituntut hukuman 13 tahun penjara dalam kasus suap SGD 80 ribu dolar dalam penanganan perkara kasasi pailit KSP Intidana.
Tuntutan terhadap Sudrajad itu dibacakan JPU di Pengadilan Negeri (PN) Kelas 1A Khusus Bandung, Rabu, 10 Mei 2023. Sudrajad diyakini oleh jaksa terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah dalam kasus tersebut.
Tim penasehat hukum Sudrajad Dimyati, Firman Wijaya menegaskan, jaksa tidak membuktikan adanya kesepakatan antara klien dengan pemberi suap.
"Persoalan utama adalah JPU yang mendakwa dengan dakwaan suap secara bersama-sama dengan terdakwa lain ternyata tidak mampu membuktikan adanya ijab kabul antara pemberi suap dengan terdakwa selaku penerima baik dalam bentuk persetujuan menerima hadiah ataupun janji, padahal itu adalah syarat utama terjadinya suap," kata Firman Wijaya dalam keterangannya, Rabu (17/5/2023).
Firman menilai, tuntuan 13 tahun penjara beserta denda dan uang pengganti dengan dalih dapat membuktikan dakwaan bahwa terdakwa terbukti korupsi bersama sama adalah hak JPU dengan syarat didukung dengan minimal dua alat bukti yang sah.
"Sampai pledoi dibacakan, bukti yang namanya goodie bag itu ada atau tidak dimana keberadaannya itu penuh misteri. Belum lagi berisi uang entah pecahan dollar Singapore 80 ribu atau 800 juta rupiah tak jelas kepastiannya. Kita butuh bukti nyata dan pasti bukan katanya katanya. Apalagi sekedar cerita-cerita yang tidak jelas dan nyata buktinya. Pembuktian itu harus meyakinkan, bukan bukti-bukti yang kualitasnya serba meragukan apalagi berujung tebak-tebakan," jelasnya.
"Demikian juga tentang unsur bersama-sama, JPU juga tidak bisa membuktikan adanya meeting of mind antara terdakwa dengan terdakwa yang lainnya untuk terwujudnya kejahatan suap," lanjutnya.
Firman menegaskan, dakwaan dan tuntutan jaksa KPK terhadap kliennya keliru. "Jadi kesimpulannya baik dakwaan maupun tuntutan JPU sebenarnya hanya narasi tanpa bukti. JPU juga tidak dapat menghadirkan barang bukti kejahatan yang katanya diterima terdakwa, baik uang dollar sing maupun tas (goodie bag) nya tidak juga bisa dihadirkan," tegasnya.
Salahsatu kelemahan, lanjut Firman, yaitu ketika saksi Elly Tri Pangestutisudah menerangkan uang yang dimaksud dimasukkan dalam goodie bag warna coklat dan sudah diletakkan di kantor di atas meja kerja terdakwa dipertanyakan.
"Ternyata hal itu hanyalah keterangan sepihak dari saksi Elly Tri Pangestuti yang tidak terkonfirmasi dan diakui terdakwa, bahkan saksi Elly Tri Pangestuti sendiri mengakui bahwa memang tidak ketemu dengan saksi sampai sekarang juga tidak tahu keberadaan goodie bag yang katanya berisi uang tersebut, yang dengan demikian sampai sekarang masih menjadi misteri apakah sebenarnya goodie bag yang katanya berisi uang itu ada atau tidak," tuturnya.
Lalu, terkait penyerahan uang pun tak bisa dibuktikan di persidangan. "Mengapa goodie bag tersebut tidak diserahkan langsung kepada terdakwa, mengapa hanya diletakkan di atas meja kerja terdakwa? Jika benar terdakwa memang berada di tempat itu dan bermaksud untuk menyuap terdakwa," tambahnya.
Menurut Firman, dalam peristiwa ini Hakim Agung Sudrajad Dimyati tidak pernah berinisiatif ataupun berkomunikasi secara timbal balik merencanakan, memerintahkan atau memberikan persetujuan tentang pemberian uang, termasuk pembagian dan alokasi uang-uang di atas dengan saksi-saksi tersebut untuk pengurusan perkara No. 874 K/Pdt. Sus-Pailit/2022.
"Baik untuk pembentukan Majelis Hakim maupun memperjual belikan, memperdagangkan pengaruhnya sebagai Hakim Agung dengan memberikan janji - janji mengenai isi putusannya," tegasnya.
Dalam kasus ini, tim penasehat hukum terdiri dari Firman Wijaya, selaku ketua tim, Nur Ridhowati, Hendrik E. Purnomo, Binsar Jon Vic, Mahendra Budi Sukarno, Nahayati Yuniar, Handy Prabowo, Novandi Pangaribuan dan Farida Dinda Akmalia dari RIFA Law Firm.
Diberitakan sebelumnya, Sudrajad dituntut bersalah melanggar dakwaan alternatif pertama, Pasal 12 huruf c Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.
Editor : Zhafran Pramoedya
Artikel Terkait