JAKARTA, iNewsBandungRaya.id - Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari CALS, YLBHI, PSHK, ICW, IM57, PUKAT FH UGM, dan CAKSANA INSTITUTE mengapresiasi Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang telah menyelenggarakan proses pemeriksaan dan pembacaan putusan terhadap seluruh hakim konstitusi MK atas pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi.
Meski begitu, koalisi masyarakat sipil ini menilai, putusan yang dikeluarkan MKMK kepada Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman, Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan delapan hakim konstitusi lainnya tidak sebanding dengan daya rusak terhadap fondasi MK.
"Temuan fakta-fakta hukum dalam persidangan harus dipandang sebagai tamparan keras dan titik balik reformasi MK," jelas keterangan resmi, Kamis (9/11/2023).
Dijelaskan, fakta-fakta hukum menunjukkan bahwa pembusukan institusional MK terjadi dari dalam. Yaitu, terbuktinya benturan kepentingan Anwar Usman dalam memeriksa dan memutus perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang memberikan karpet merah bagi dinasti politik dan keistimewaan bagi keponakannya sendiri yakni Gibran Rakabuming Raka, untuk berkontestasi sebagai calon wakil presiden.
Kemudian, Anwar Usman sengaja membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses pengambilan keputusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Selain itu, Anwar Usman juga tidak menjalankan fungsi judicial leadership dengan optimal.
Anwar Usman berkomentar tentang perkara yang sedang ditangani di hadapan publik dengan mendukung penurunan syarat usia calon presiden dan wakil presiden pada Kuliah Umum di Universitas Islam Sultan Agung Semarang. Lalu, Arief Hidayat merendahkan martabat MK akibat komentar yang disampaikan di publik tentang situasi kemunduran MK.
Dan delapan hakim konstitusi lain terbukti melakukan pembiaran konflik kepentingan, pembiaran lobi-lobi antarhakim, tidak membangun iklim intelektual dalam pembahasan di RPH, dan tidak dapat menjaga informasi rahasia dalam RPH.
Koalisi masyarakat sipil juga menyebut, Anwar Usman harus bertanggung jawab secara moral dan menjadi negarawan yang seutuhnya dengan mengundurkan diri dari jabatan sebagai hakim konstitusi.
"Pelanggaran berat yang dilakukan oleh Anwar Usman merupakan pelanggaran etik mendasar, tak hanya sebagai Ketua MK, tetapi juga sebagai seorang hakim konstitusi," katanya.
"Anwar Usman harus mencontoh langkah Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi yang mengundurkan diri ketika dilaporkan melanggar kode etik dan Perilaku Hakim Konstitusi akibat membiarkan anggota keluarganya menemui pihak yang beperkara pada perselisihan hasil pemilihan kepala daerah di MK tahun 2011," tambahnya.
Dalam persidangan, MKMK mengamanatkan pemilihan Ketua MK yang baru dalam waktu 2x24 jam setelah putusan dibacakan. Artinya, pada hari ini, Kamis (9/11/2023), hakim konstitusi sudah harus memilih Ketua MK tanpa mempertimbangkan Anwar Usman.
"Kedudukan Ketua MK menjadi sangat krusial untuk menyambut momentum pembenahan holistik MK," ujarnya.
Oleh karena itu, koalisi masyarakat sipil mendorong hakim konstitusi yang dipilih menjadi Ketua MK dengan tiga kriteria. Pertama, tidak mendapat sanksi etik dari MKMK lebih dari satu kali.
Kedua, tidak turut berkontribusi dalam memberikan jalur khusus yang melanggengkan dinasti politik, dan ketiga dipilih sebagai hakim konstitusi melalui proses yang konstitusional.
Koalisi masyarakat sipil mengatakan, hasil pemeriksaan MKMK membuktikan bahwa Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 dibentuk dengan proses yang sarat konflik kepentingan dan penuh lobi-lobi politik, sehingga disusun berdasarkan proses yang cacat formil.
"Karena itu sebagai konsekuensi logis dari Putusan MKMK, MK perlu meninjau kembali Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 dengan memberikan putusan yang rasional dan objektif pada perkara pengujian syarat usia calon presiden dan wakil presiden yang telah teregistrasi di MK pasca diputusnya perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 serta tidak melibatkan Anwar Usman untuk memeriksa, memutus, dan mengadili perkara," tuturnya.
Koalisi masyarakat sipil menilai, sebagai bentuk reformasi MK untuk jangka panjang, perlu untuk memperbaiki sistem pengawasan dan penegakkan kode etik dan perilaku hakim konstitusi dengan membentuk MKMK yang permanen dan diisi oleh tokoh-tokoh negarawan yang tidak pernah melakukan pelanggaran etik dan hukum.
"MKMK harus ditempatkan sebagai lembaga yang independen dan terpisah dari MK, sehingga untuk ke depan, hakim konstitusi tidak menaruh representasi pada MKMK. MKMK yang permanen pun diharapkan proaktif dalam mengawasi MK," katanya.
Selain itu, mekanisme Majelis Kehormatan Banding untuk sanksi pemberhentian dengan tidak hormat perlu dikaji ulang. Mekanisme ini harus ditiadakan untuk menghindari proses pemeriksaan etik yang berlarut dan tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan.
Namun apabila dipertahankan, itu harus diatur di level undang-undang agar tidak dengan sengaja memberikan keuntungan kepada hakim konstitusi yang telah terbukti melakukan pelanggaran berat.
Editor : Rizal Fadillah
Artikel Terkait