JAKARTA, iNewsBandungRaya.id - Mantan Komisaris PT Wika Beton, Dadan Tri Yudianto menghadiri sidang dengan agenda Pledoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (21/2/2024).
Dalam Pledoi yang dibacakannya, Dadan mengaku dimintai uang senilai 6 juta dollar AS saat dirinya berstatus saksi oleh orang yang mengaku sebagai penegak hukum agar dirinya tak menjadi tersangka.
Diketahui, Dadan sendiri saat ini berstatus sebagai terdakwa dalam kasus dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA).
"Pada saat saya masih berstatus sebagai saksi, saya sempat dimintakan sejumlah uang oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dengan nilai fantastis apabila saya tidak ingin status saya naik menjadi tersangka," kata Dadan.
Selain itu, Dadan merasa penetapan dirinya sebagai tersangka adalah sebuah kejanggalan. Sebab, selain permintaan uang, terdapat kejanggalan lainnya dalam proses hukum kasus dugaan suap pengurusan perkara di MA.
"Misalnya, adanya pesan singkat melalui WhatsApp untuk tidak menghadiri sidang sebagai saksi dalam perkara terdakwa debitur Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana Heryanto Tanaka di Pengadilan Negeri Bandung lantaran agenda tersebut dijadwalkan ulang," terangnya.
Dadan mengatakan, jika pesan singkat itu diterima melalui sang istri pada saat dirinya akan berangkat ke pengadilan. Pesan itu mengatasnamakan salah satu oknum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Setelah kejadian itu saya jatuh sakit dan harus menjalani operasi pengangkatan empedu dari tubuh saya di Rumah Sakit Mayapada Jakarta Selatan," jelasnya.
Akibat kesehatan yang belum membaik usai operasi, kata Dadan, dirinya mengaku tidak dapat menghadiri sidang beberapa kali sebagai saksi.
“Saya ini seorang pengusaha swasta yang di dzolimi. Disaat mendapatkan investasi untuk pengembangan usaha dan bisnis, saya dituduh dan didakwa sebagai pegawai negeri atau pejabat negara yang menerima hadiah atau janji. Ini janggal, ini aneh,” terangnya.
Padahal, lanjut Dadang, investasi senilai Rp11,2 miliar dari Heryanto Tanaka adalah murni bisnis.
“Investasi senilai Rp11,2 Milyar dari Heryanto Tanaka adalah murni bisnis. Ada kesepakantannya, ada perjanjiannya, ada wujud bisnisnya dan untuk tahun pertama pun pak Tanaka juga telah mendapatkan keuntungan atau deviden,” tuturnya.
“Dengan didampingi tim Penasihat Hukum, saya akan senantisa akan menempuh upaya-upaya hukum demi hak keadilan saya,” tambahnya.
Sementara itu, salah satu kuasa hukum Dadan, Budianto menyebut, bahwa sejak awal memang penetapa status terdakwa kepada kliennya sudah terasa janggal.
Menurutnya, selama proses persidangan itu penuntut umum tidak dapat menunjukkan bukti-bukti seperti yang dituduhkan dan didakwakan. Tak hanya itu, kliennya adalah seorang pengusaha swasta namun dijerat dengan pasal yang diperuntukan bagi PNS atau pegawai pemerintahan.
Untuk diketahui, Dadan Tri Yudianto didakwa telah melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dalam kasus ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menuntut Dadan Tri Yudianto dipidana selama 11 tahun dan 5 bulan penjara.
Dadan dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan menerima suap Rp11,2 miliar dari debitur Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana Heryanto Tanaka. Ia disebut menjembatani Tanaka memberikan suap kepada Sekretaris Mahkamah Agung (MA) saat itu, Hasbi Hasan, guna mengondisikan perkara KSP Intidana yang tengah bergulir di MA.
Terpisah, Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri menyarankan, agar Dadan melaporkan jika benar ada dugaan pemerasan oleh oknum anggota KPK. Menurutnya, pernyataan terdakwa kasus penanganan perkara di MA itu dapat meruntuhkan reputasi KPK jika tidak bisa dibuktikan.
Oleh sebab itu, Dadan diminta mengungkapkan dugaan pemerasan itu dengan melaporkannya kepada aparat penegak hukum.
"Kami kira lebih baik silakan terdakwa lapor saja penegak hukum bila memang benar ada kejadian tersebut, bukan hanya rangkaian cerita semacam itu yang pada ujungnya tanpa makna, namun terlanjur berpotensi merusak reputasi pihak lain," tandasnya.
Editor : Rizal Fadillah
Artikel Terkait