Menurutnya, dengan dihilangkannya partisipasi publik membuat pembahasan ini sangat top-down.
"Undang-undang dibentuk oleh elit politik dan masyarakat sipil hanya diminta untuk mengikuti. Hal itu terlihat dari minimnya sosialisasi vang dilakukan oleh DPR," katanya.
Menurutnya, proses revisi undang-undang ini seharusnya menerapkan prinsip kehati-hatian karena mengatur tentang penggunaan frekuensi penyiaran yang merupakan milik publik dan jumlabnya terbatas. Hal lain yang meresahkan adalah revisi ini juga mencakup regulasi terhadap konten digital yang bukan frekuensi publik.
"Berbagai pengaturan ini berpotensi mengundang intervensi pemerintah pada ruang-ruang yang seharusnya menjadi tempat bagi diskusi publik," imbuhnya.
Pada aspek isi, Fajar menilai bahwa terdapat beberapa pasal yang dapat menghalangi kebebasan pers Indonesia seperti adanya larangan konten jurnalisme investigasi. Padahal jurnalisme investigasi merupakan salah satu strategi pers dalam mengawasi jalannya pemerintahan sebagai pilar keempat demokrasi.
Editor : Rizal Fadillah
Artikel Terkait