BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Patra Niaga (PT PPN) serta sejumlah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang melibatkan lebih dari satu korporasi, dalam periode 2018–2023 menjadi salah satu skandal besar yang mengguncang sektor energi Indonesia.
Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap, nilai kerugian negara dalam kasus tersebut terus berubah-ubah secara signifikan. Selain itu, jumlah direksi yang telah ditetapkan sebagai tersangka masih lebih sedikit dibandingkan mereka yang belum sepenuhnya terungkap.
"Kasus itu disebut terjadi periode 2018 sampai 2023 yang berarti berlangsung setiap hari pada durasi tersebut. Tentu seharusnya akan banyak sekali jajaran direksi dan komisaris yang ikut serta bertanggung jawab dari perspektif Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Itu pun belum kami kedepankan terkait keberadaan UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah ditetapkan tanggal 24 Februari 2025," ujar Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus dalam sebuah diskusi di Kota Bandung, Senin (3/3/2025).
Penetapan Tersangka oleh Kejaksaan Agung
Hingga saat ini, Kejagung telah menetapkan sembilan tersangka, termasuk dua direksi PT PPN, yaitu Direktur Utama Riva Siahaan (RS) yang ditahan pada 25 Februari 2025, serta Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga, Maya Kusmaya (MK), yang ditetapkan sebagai tersangka. Selain itu, Edward Corne (EC), Vice President Trading, juga ditahan pada 26 Februari 2025.
Sementara itu, tujuh tersangka lainnya berasal dari luar PT PPN, yaitu Sani Dinar Saifuddin (SDS) – Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional (PT KPI), Yoki Firnandi (YF) – Direktur Utama PT Pertamina International Shipping (PT PIS), Agus Purwono (AP) – VP Feedstock Management PT KPI, Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) – Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa (PT NK), Dimas Werhaspati (DW) – Komisaris PT NK dan Komisaris PT Jenggala Maritim (PT JM), dan Gading Ramadhan Joedo (GRJ) – Komisaris PT JM dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak (PT OTM).
Kasus tersebut awalnya diumumkan menyebabkan kerugian negara sebesar Rp193,7 triliun. Dugaan korupsi mencakup manipulasi sistem pengadaan minyak, keterlibatan broker dalam impor minyak, mark-up biaya pengiriman, serta pengaturan tender yang tidak transparan. Tidak lama setelahnya, Kejagung memperbarui perhitungan kerugian negara yang disebut hampir mencapai Rp1.000 triliun.
"Ketika ada durasi panjang 2018 sampai 2023 dan silih berganti jajaran direksi serta komisaris pada entitas subholding tetapi malah baru dari pihak swasta saja yang berposisi sebagai komisaris untuk ditahan Kejagung. Sementara dari entitas subholding sama sekali belum seluruh direksi disentuh apalagi sampai menyeret komisaris ke tahanan," tegas Iskandar Sitorus.
Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris
Merujuk laporan tahunan PT PPN per 31 Desember 2021, susunan direksi dan komisaris pada periode tersebut adalah:
Dewan Komisaris
*•* Komisaris Utama: Ego Syahrial
*•* Komisaris: Anwar
*•* Komisaris: Muhammad Yusni
*•* Komisaris: Agustina Arumsari
*•* Komisaris: Soerjaningsih
*•* Komisaris: Wahyu Indra Pramugari
*•* Komisaris: Siti Zahra Aghnia
Dewan Direksi
*•* Direktur Utama: Alfian Nasution
*•* Direktur Pemasaran Regional: Mars Ega Legowo Putra
*•* Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga: Riva Siahaan
*•* Direktur Perencanaan & Pengembangan Bisnis: Harsono Budi Santoso
*•* Direktur Rekayasa & Infrastruktur Darat: Eduward Adolof Kawi
*•* Direktur Keuangan: Arya Suprihadi
*•* Direktur SDM & Penunjang Bisnis: Mia Krishna Anggraini
Pada 16 Juni 2023, terjadi perubahan dalam susunan direksi PT PPN, di mana Riva Siahaan diangkat sebagai Direktur Utama menggantikan Alfian Nasution. Susunan direksi setelah perubahan tersebut adalah:
*•* Direktur Utama: Riva Siahaan
*•* Direktur Pemasaran Regional: Mars Ega Legowo Putra
*•* Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga: Maya Kusmaya
*•* Direktur Perencanaan & Pengembangan Bisnis: Harsono Budi Santoso
*•* Direktur Rekayasa & Infrastruktur Darat: Eduward Adolof Kawi
*•* Direktur Keuangan: Arya Suprihadi
*•* Direktur SDM & Penunjang Bisnis: Mia Krishna Anggraini
Iskandar pun mempertanyakan mengapa dari jajaran direksi dan komisaris tersebut, hanya beberapa individu yang ditetapkan sebagai tersangka.
"Lalu pertanyaan ikutannya adalah dibalik skandal ini, muncul pertanyaan lebih besar. Seperti apa dan di mana peran direksi dan komisaris dalam menjaga tata kelola perusahaan sesuai UUPT? Apakah mereka lalai dalam pengawasan atau justru terlibat aktif dalam praktik yang dituduhkan Kejagung? Hal ini belum terpublikasi kepada publik sehingga menunjukkan postur kasus itu masih berantakan. Masih belum solid untuk menjelaskan dengan seutuhnya tuduhan dari Kejagung," tandas Iskandar Sitorus.
Ia menegaskan, audit totak terhadap peran mereka menjadi kunci utama dalam mengungkap siapa saja yang harus bertanggung jawab dalam skandal tersebut. Menurutnya, direksi adalah motor utama dalam pengelolaan sebuah perseroan, dan bertanggung jawab penuh atas kebijakan operasional, keuangan, dan strategi perusahaan, sesuai dengan pasal 92 ayat (1) UUPT.
"Tugas utama direksi berdasarkan UU PT adalah Mengurus perusahaan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Mewakili perseroan dalam pengambilan keputusan strategis. Memastikan kepatuhan terhadap hukum dan regulasi. Membuat laporan tahunan kepada pemegang saham dan komisaris (Pasal 66 UUPT). Mencegah dan mengatasi kerugian perusahaan (Pasal 97 ayat (2) UUPT)," beber Iskandar.
Namun, dalam kasus dugaan korupsi tersebut, contoh pada PT PPN ternyara baru dua orang, bukan seluruh direksi ditetapkan tersangka karena menyalahgunakan wewenang dan terlibat dalam praktik korupsi dengan berbagai modus, seperti Menggunakan broker dalam impor minyak yang menyebabkan kenaikan harga 13% hingga 15% di atas nilai sebenarnya.
Menggelembungkan biaya pengiriman minyak (mark-up) yang berujung pada pemborosan anggaran perusahaan. Mengatur pemenang tender impor minyak mentah sehingga hanya pihak tertentu yang mendapatkan kontrak.
"Jika hanya atau baru direksi Riva Siahaan mantan Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga yang menjabat Direktur Utama PT PPN tahun 2023 ditetapkan sebagai tersangka bersama Maya Kusmaya Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga, maka dalam konteks audit dan penegakan hukum, bagaimana dengan tanggung jawab direksi lainnya sejak dari tahun 2018, 2019, 2020, 2021 dan 2022?" tanya Iskandar Sitorus heran.
Selain direksi, dewan komisaris memiliki peran penting dalam mengawasi dan memberikan nasihat strategis kepada direksi. Dalam pasal 108 ayat (1) UUPT disebut komisaris bertugas untuk mengawasi kebijakan perusahaan dan memberikan nasihat yang sesuai dengan prinsip tata kelola yang baik. Tugas utama komisaris yakni, Memastikan kebijakan perusahaan berjalan sesuai dengan regulasi. Mengawasi kinerja direksi dalam pengelolaan perusahaan. Menganalisis laporan keuangan dan operasional yang disampaikan direksi. Memberikan rekomendasi dan strategi untuk mencegah penyimpangan tata kelola perusahaan.
Namun, dalam kasus tersebut, belum ada komisaris yang ditetapkan sebagai tersangka. Iskandar mempertanyakan, apakah seluruh komisaris sejak 2018 benar-benar tidak mengetahui adanya praktek mark-up harga, peran broker, dan pengaturan tender sehingga merugikan negara seperti tuduhan Kejagung.
"Potensi pelanggaran oleh komisaris bisa terlihat berdasar pasal 114 ayat (3) UUPT disebut jika terbukti lalai dalam pengawasan yang menyebabkan kerugian bagi perseroan, maka mereka dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi. Jika komisaris membiarkan praktik korupsi berlangsung, mereka bisa dikenai tuntutan hukum, baik secara perdata maupun pidana," jelas Iskandar Sitorus.
Agar lebih dekat memahami hal tersebut, Iskandar mencontohkan, bisa dicermati tentang keberadaan salah satu komisaris PT PPN yakni Agustina Arumsari yang mulai menjabat 2021. Kini Agustina sudah menjadi Wakil Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Jika komisaris mengetahui ada pelanggaran pada kasus PT PPN tetapi tidak bertindak, maka mereka bisa dianggap melakukan pembiaran, yang juga merupakan pelanggaran hukum.
Iskandar mengingatkan, kasus tersebut bukan hanya tentang korupsi di sub holding PT Pertamina, tetapi juga soal lemahnya pengawasan tata kelola BUMN. Posisi komisaris khususnya Agustina Arumsari menjadi pertanyaan penting dalam konteks audit dan pengawasan internal BUMN. Sebagai komisaris, Agustina mewakili BPKP, lembaga pemerintah yang bertanggung jawab atas pengawasan keuangan negara, termasuk BUMN. Posisi tersebut menimbulkan pertanyaan kritis apakah komisaris dari unsur BPKP sudah menjalankan perannya dengan baik dalam mencegah atau mendeteksi dugaan korupsi yang kini terungkap.
"Dari sisi audit, keberadaan seorang auditor dalam struktur pengawasan perseroan seharusnya meningkatkan kualitas kontrol dan mencegah penyalahgunaan keuangan. Terlebih hal dituduhkan telah berlangsung bertahun-tahun. Namun, jika dugaan skandal tetap terjadi, perlu ditelusuri apakah ini akibat kelalaian, kurangnya independensi, atau justru keterlibatan dalam pembiaran atas praktik yang merugikan negara?" tanya Iskandar.
Sebagai komisaris, Agustina Arumsari memiliki kewajiban hukum untuk mengawasi kebijakan dan kinerja direksi, memastikan bahwa tata kelola perusahaan berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku. Dasar hukum peran komisaris dalam pengawasan perusahaan terlihat pada pasal 108 ayat (1) UUPT
“Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun usaha perseroan, serta memberi nasihat kepada Direksi.” Pasal 114 ayat (3) UUPT berbunyi “Dalam hal komisaris lalai dalam menjalankan tugas pengawasannya dan menyebabkan kerugian bagi perusahaan, mereka dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi.”
"Apa arti pasal ini dalam konteks audit? Komisaris memiliki kewajiban untuk melakukan pengawasan aktif, tidak hanya dalam bentuk formalitas tetapi dengan memastikan kebijakan perusahaan berjalan sesuai hukum. Jika terjadi kerugian akibat kelalaian pengawasan, komisaris dapat dimintai pertanggungjawaban hukum. Sebagai representasi BPKP, seharusnya Agustina memiliki kapasitas yang lebih dalam mendeteksi potensi penyimpangan sejak awal," sesal Iskandar Sitorus.
Dari perspektif hukum, jika seseorang komisaris mengetahui ada indikasi korupsi namun tidak melakukan langkah audit memadai, maka bisa masuk dalam kategori kelalaian berat (gross negligence) yang berpotensi menyeretnya ke dalam pertanggungjawaban hukum.
Karena tanggal 19 Februari 2025, Agustina Arumsari dilantik menjadi Wakil Kepala BPKP bisa saja hal itu justru akan menimbulkan dua masalah utama ditinjau dari perspektif audit yakni:
1. Benturan kepentingan dalam pengawasan oleh BPKP. Karena BPKP memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap keuangan negara, termasuk sektor BUMN. Jika ada potensi dugaan korupsi di PT PPN, maka BPKP semestinya menjadi salah satu lembaga yang melakukan investigasi. Tetapi bagaimana mungkin seseorang yang menjabat sebagai Wakil Kepala BPKP bisa bersikap netral dalam mengawasi perusahaan yang sebelumnya diawasi olehnya sebagai komisaris? Ini berpotensi menimbulkan conflict of interest.
2. Apakah ada kewajiban mundur dari jabatan komisaris terhadapnya? Hingga saat ini, belum ada informasi resmi apakah Agustina telah mengundurkan diri dari posisi komisaris setelah diangkat menjadi Wakil Kepala BPKP. Jika masih menjabat sebagai komisaris sambil menjadi Wakil Kepala BPKP, ini dapat menimbulkan pertanyaan etis terkait profesionalisme dan independensi pengawasan yang dilakukan BPKP terhadap BUMN tersebut.
Dasar hukum terkait harus menghindarkan benturan kepentingan itu diatur pasal 17 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang menyebut "Pejabat yang memiliki kepentingan terhadap suatu objek pengawasan dilarang melakukan pemeriksaan atau pengawasan terhadap objek tersebut untuk menjaga independensi keputusan administratif." Juga Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang BPKP yang berbunyi "Setiap pegawai BPKP harus bersikap independen dan tidak memiliki konflik kepentingan dalam melakukan pengawasan keuangan negara."
3. Dari perspektif audit dan pengawas keuangan, posisi Agustina Arumsari sebagai komisaris yang mewakili BPKP di PT PPN seharusnya bisa memastikan sistem pengendalian internal yang ketat. Namun, dengan terungkapnya dugaan korupsi besar ini maka bisa muncul beberapa kemungkinan:
Kemungkinan 1: Kelalaian dalam pengawasan, jika komisaris tidak melakukan review yang ketat terhadap laporan keuangan dan operasional, mereka bisa dianggap lalai dalam menjalankan fungsi pengawasan. Hal ini dapat berujung pada tanggung jawab hukum berdasarkan UUPT pasal 114.
Kemungkinan 2: Pembiaran terhadap praktik korupsi, jika ada indikasi bahwa komisaris mengetahui penyimpangan tetapi tidak mengambil langkah tegas, ini dapat dianggap sebagai pembiaran terhadap tindak pidana korupsi. Dalam konteks hukum pidana, pembiaran terhadap tindak pidana bisa dianggap sebagai bentuk keterlibatan tidak langsung.
Dasar hukum jika terjadi pembiaran, seperti terkuat pada pasal 55 KUHP yang berbunyi "Seseorang yang dengan sengaja membiarkan kejahatan terjadi dapat diproses secara hukum". Lalu UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), pada pasal 3 menyebut "Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara dapat dipidana."
"Keberadaan Agustina Arumsari sebagai komisaris sekaligus pejabat tinggi BPKP menimbulkan pertanyaan besar terkait akuntabilitas pengawasan di BUMN. Jika benar ada dugaan kelalaian atau pembiaran dalam kasus ini, seharusnya ada audit independen yang meneliti apakah komisaris, termasuk Agustina, telah menjalankan tugas mereka sesuai dengan standar hukum dan etika pengawasan. Itu tentu menjadi pekerjaan rumah Kejagung. Maka mulai sekarang mereka idealnya menggunakan Auditor Keuangan Negara dari Badan Pemeriksa Keuangan saja demi independensi penghitungan kerugian negara. Bukan melulu BPKP seperti selama ini," tutup Iskandar Sitorus sambil tersenyum. (*)
Editor : Abdul Basir
Artikel Terkait