Digital Tapi Terjajah: Ketika Ojol Jadi Tumbal Algoritma

Penta Peturun
Ilustrasi, Digital Tapi Terjajah: Ketika Ojol Jadi Tumbal Algoritma. (Foto: ChatGPT)

Ekonomi platform RI bernilai US$27 miliar dan tumbuh 35 % per tahun, tapi sebagian besar keuntungan dinikmati korporasi multinasional, bukan para driver. Platform mengubah terms and conditions secara sepihak, bukan kemitraan, melainkan bentuk modern perbudakan berbaju teknologi.

Politik Kedermawanan Terhadap Realitas Struktural

Saat Presiden Prabowo menyebut soal penambahan bonus hari raya (BHR) sekitar Rp 1 juta, bahkan ada yang hanya dapat Rp 50 ribu atau tidak sama sekali, itu mencerminkan kontradiksi mendalam. Pramoedya tentu akan melihatnya sebagai mentalitas priyayi: memberi belas kasih tanpa mengubah struktur yang menindas. BHR ini adalah contoh paling jelas dari charity capitalism.

Žižek menyebutnya “ideology at its purest”: tindakan tampak progresif namun menyokong status quo. Meski Indonesia mendukung keputusan ILO, implementasi di tingkat nasional masih minim regulasi substantif, konvensi bisa saja jadi slogan kosong.

Dari Cultuurstelsel ke Algoritma

Dalam Bumi Manusia, pribumi dibentuk sebagai kelas terbawah, tunduk pada “cambuk” kolonial. Kini, algoritma platform digital menyandang peran cambuk baru yang tak terlihat, rating, suspend akun, dan manipulasi order menjadi alat kedisiplinan.

Driver bukan sekadar memberi layanan; mereka juga menyediakan data tentang pola hidup yang diubah jadi “behavioral futures” dan diperjualbelikan. Ini adalah kolonialisme data, lebih dalam dari kolonialisme fisik.

Editor : Rizal Fadillah

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2 3 4

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network