Ia menambahkan, “Bagaimanapun juga, kita perlu terus mensosialisasikan objek-objek kemajuan kebudayaan kita melalui dunia digital ini.”
Konten Sederhana yang Relevan
Ledia menjelaskan bahwa digitalisasi budaya tidak selalu harus diwujudkan dalam program besar atau proyek berskala nasional. Ia justru menilai bahwa konten dapat dimulai dari hal kecil, aktivitas sehari-hari, ataupun unsur budaya yang selama ini tidak disadari sebagai bagian dari identitas lokal.
"Konten-konten yang ingin kita sosialisasikan, kita edukasikan kepada masyarakat, kita buat sedemikian rupa, sehingga mereka kemudian nanti akan berkembang dalam bentuk-bentuk yang bisa divisualisasikan," jelasnya.
Sebagai contoh, ia menyebut budaya terkait penggunaan sampeu (singkong) di Cimahi. Menurutnya, banyak potensi konten edukasi yang dapat dibuat, mulai dari pengolahan, pemanfaatan, inovasi pangan, hingga pendalaman filosofi di balik komoditas tersebut.
“Nah itu jadi bagian yang didalami ya, filosofinya bukan karena dari bahwa tanahnya paling cocok untuk singkong, tapi juga ada hal-hal lain di belakang. Jadi bahan-bahan diskusi atau tidak dialog kita tentang konten-konten itu yang kita bawa ke masyarakat,” katanya.
Digital sebagai Rujukan Utama Masyarakat
Ledia menyebut bahwa pilihan menjadikan digital sebagai ruang utama bukan tanpa alasan. Saat ini, masyarakat cenderung menjadikan platform digital sebagai sumber informasi pertama yang mereka akses dan percayai.
Editor : Agung Bakti Sarasa
Artikel Terkait
