Mantan Gubernur Jakarta itu mengatakan, ketika Nabi Muhammad SAW wafat dan kepemimpinan diteruskan oleh empat khalifah, dalam periode 29 tahun 632 sampai 661 plus 10 tahun jadi 39 tahun, orang-orang pada masa itu menyaksikan tata pemerintahan berbeda di mana pun di muka Bumi.
Pergantian kekuasaan di masa itu umumnya ditandai dengan kekerasaan, kekuatan fisik dan senjata. Namun, di masa keemasan Islam, selama 39 tahun, pergantian kepemimpinan di dunia Islam berjalan damai melalui musyawarah. Demokrasi Islam pada masa itu berjalan dan membawa kesejahteraan bagi umat.
"Pada masa itu belum ada labelisasinya. Padahal itu yang namanya demokratis. Pada masa itu, 39 tahun, demokrasi berjalan di bawah bendera Islam. Namun demokrasi Islam itu tidak berlanjut, sistem tradisional pun kembali, ada kubu Bani Hasyim dan kubu yang merujuk kepada keturunan rasul. Satu kita sebut Suni dan satu disebut Syiah," ucap Anies.
Anies menegaskan, jika masyarakatnya apatis, fanatik, enggan berpikir kritis, ekosistem bisa sakit dan demokrasi layu.
"Seorang pemikir terkenal mengatakan, demokrasi sering tidak hancur dari serangan luar, tapi demokrasi itu malah hancur dari kerusakan sendiri ketika kita semua tidak peduli terhadap kebebasan dan keadilan. Hari ini kita rasanya peduli, tapi belum tentu kepedulian kita direspons sehingga kadang menjadi masalah. Karena itu, kita harus lebih sering terlibat," ujarnya.
Di kampus, tutur Anies, sering berdikusi dengan mahasiswa dan banyak menemukan pernyataan tidak peduli dengan politik, tidak peduli dengan siapa yang memimpin. Mereka mengatakan, ganti pemimpin hidup tetap begini-begini saja.
"Rasanya tidak ya. Ganti pemimpin, UKT (Uang Kuliah Tunggal) bisa naik," tutur Anies, disambut gelak tawa jamaah.
Editor : Agus Warsudi
Artikel Terkait