BANDUNG,iNews BandungRaya.id - Kuasa hukum mantan Kepala Balai Besar Tekstil Bandung, Wibowo Dwi Hartoto, mengajukan eksepsi atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Eksepsi (keberatan) dari tergugat atau terdakwa dilakukan Subali, selaku kuasa hukum eks Kepala Balai Besar Tekstil (BBT) Bandung, Wibowo Dwi Hartoto di Pengadilan Tipikor, Pengadilan Negeri Bandung, Kamis (16/10/2025).
Pasalnya permohonan Praperadilan istri dari Wibowo Dwi Hartoto menjadi gugur karena JPU sudah mendahului melimpahkan perkara pada Hari kamis 9 Oktober 2025 di Pengadilan Tipikor, Pengadilan Negeri Bandung.
"Eksepsi diajukan karena terdapat sejumlah kejanggalan dan ketidakjelasan dalam surat dakwaan yang disusun oleh JPU, sehingga upaya Praperadilan dari istri terdakwa dinyatakan gugur oleh Pengadilan Negeri Bandung," terang Subali saat ditemui usai sidang di Pengadilan Tipikor, Pengadilan Negeri Bandung.
Pihaknya mengajukan eksepsi demi tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan, serta untuk memastikan terpenuhinya hak-hak terdakwa.
Ia pun memberikan apresiasi kepada Majelis Hakim yang dinilai telah bertindak adil dan bijaksana dalam persidangan.
Dikatakannya, ada tiga poin utama yang disoroti dalam eksepsi tersebut. Pertama, terdakwa tidak didampingi penasihat hukum saat penyidikan.
Hal itu dinilai bertentangan dengan Pasal 56 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa yang diancam dengan pidana mati, pidana 15 tahun atau lebih, atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, wajib ditunjuk penasihat hukum oleh pejabat yang berwenang.
Subali mengutip sejumlah putusan Mahkamah Agung (MA) yang menegaskan bahwa jika tersangka tidak didampingi penasihat hukum dalam penyidikan, maka Berita Acara Pemeriksaan (BAP) menjadi tidak sah dan batal demi hukum.
"Sehingga dakwaan yang disusun berdasarkan BAP tersebut juga menjadi tidak sah," sambungnya.
Kedua adalah surat dakwaan tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap, atau tidak memenuhi syarat formil dan materil sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP.
Termasuk menyoroti uraian perbuatan dalam dakwaan kesatu primair yang sama dengan dakwaan kesatu subsidair, yang dinilai obscuur libel atau kabur.
Pihaknya juga mempermasalahkan inkonsistensi penyebutan nama terdakwa dalam surat dakwaan, yang dianggap menimbulkan ketidakpastian.
Sedangkan poin ketiga, surat dakwaan batal demi hukum sebab perbuatan terdakwa yang didakwakan terjadi pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 masih berlaku.
"Perbuatan terdakwa dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara dan pemulihan ekonomi nasional merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis, dan bukan merupakan kerugian negara. Hal ini didasarkan pada Pasal 27 ayat (1) Perppu Nomor 1 Tahun 2020," tuturnya.
Lebih lanjut dikatakannya, berdasarkan eksepsi tersebut tim penasihat hukum memohon kepada Majelis Hakim untuk menjatuhkan putusan sela yang pada pokoknya, antara lain menerima eksepsi dari penasihat hukum terdakwa untuk seluruhnya.
Menyatakan surat dakwaan JPU batal demi hukum, menetapkan pemeriksaan perkara terhadap terdakwa tidak dilanjutkan, dan memerintahkan terdakwa untuk dikeluarkan dari tahanan.
Kemudian, membebaskan terdakwa dari segala dakwaan, memulihkan hak-hak terdakwa dan membebankan biaya perkara kepada negara.
"Namun apabila Majelis Hakim Yang Mulia berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)," ucapnya.
Seperti diketahui eks Kepala Balai Besar Tekstil Bandung, Wibowo Dwi Hartoto melalui kuasa hukumnya telah mengajukan Praperadilan.
Pasalnya yang bersangkutan merasa dirugikan dan diperlakukan sewenang-wenang setelah dinyatakan ikut terlibat dalam kasus korupsi pengadaan laboratorium pengujian masker N-95 di Balai Besar Tekstil (BBT) Bandung. (*)
Editor : Rizki Maulana
Artikel Terkait