Ray menilai, tiga hal ini kini mulai muncul diujung pemerintahan Jokowi. Menurutnya, Jokowi betul-betul mereplika aturan-aturan yang dibuat Soeharto.
"Demi visi Jokowi KPK dibonsai. Aturan dirubah demi tujuan dibuat tidak satu kali dalam perjalanan. Karena keinginan untuk menguasai seluruh infrastruktur birokrasi tunggal dibawah pemerintahan, karena kalau tidak dibawah struktur yang tunggal untuk tegak lurus pada Presiden, seperti Undang-Undang ASN yang terbaru," katanya.
Ray mengatakan, perilaku penghormatan HAM yang ditunjukkan pemerintah Jokowi pada periode kedua ini sangat mengkhawatirkan masa depan demokrasi Indonesia, dimana pada masa Index perhormatan HAM sangat mudah dikenakan pada aktivis-aktivis, pasal-pasal pencemaran nama baik, penghinaan dan kekerasan seksual.
"Dalam aksi-aksi menentang politik dinasti misalnya, banyak aktivis-aktivis dijerat seperti Butet Kartarejasa, Aiman Wicaksono, dan terakir Melki," imbuhnya.
Ray menyebut, polemik dinasti menjadi semakin terang dalam proses keterlibatan keluarga saat ini, ketika proses politik di alam demokratik namun megabaikan apa yang disebut etika.
"Pemimpin sekarang tidak seperti Hatta yang memiliki kesadaran etik atas penunjukkannya sebagai Wakil Presiden yang tidak dipilih oleh rakyat tanpa dasar, sehinga beliau mengeluarkan Maklumat No.X untuk segera melakukan pemilu. Sudah saatnya kita bercermin pada pemimpin kita di masa lalu, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Natsir, tidak mencontohkan pelanjut kekuasaan dari keluarganya disaat dirinya berkuasa," tandasnya.
Editor : Zhafran Pramoedya
Artikel Terkait