Budi menjelaskan bahwa tujuan awal keadilan restoratif adalah untuk menyelesaikan perkara di luar pengadilan dengan melibatkan para pihak yang terlibat, termasuk korban dan masyarakat. Namun, dalam praktiknya, konsep ini seringkali diselewengkan.
"Restoratif justice yang seharusnya menjadi solusi keadilan justru berubah menjadi sesuatu yang bersifat transaksional. Orang yang memiliki uang dapat menyelesaikan perkara mereka melalui mekanisme ini tanpa proses lebih lanjut, sementara mereka yang tidak memiliki uang tetap harus menjalani proses hukum. Ini yang menjadi permasalahan utama," kata Budi di Gedung 2 FH UNPAR, Jalan Ciumbuleuit Nomor 94, Kota Bandung, Senin (24/3/2025).
Budi juga menyoroti bahwa keadilan restoratif seringkali hanya berfokus pada ganti rugi kepada korban, tanpa melibatkan masyarakat yang juga terdampak. Kurangnya kontrol terhadap kesepakatan dalam proses keadilan restoratif juga menjadi persoalan serius.
"Tidak ada mekanisme yang memastikan bahwa kesepakatan yang dibuat benar-benar dilakukan secara sukarela tanpa adanya tekanan. Bisa jadi, dalam beberapa kasus, pihak yang lebih lemah terpaksa menyetujui kesepakatan karena adanya tekanan dari pihak lain," jelasnya.
Oleh karena itu, Budi menekankan pentingnya mekanisme kontrol dalam proses keadilan restoratif. Ia mengusulkan agar pengadilan memiliki wewenang untuk menilai sah atau tidaknya suatu kesepakatan restoratif justice.
Editor : Agung Bakti Sarasa
Artikel Terkait