Ini bukan fiksi. Ini adalah pengakuan keras dari dalam keluarga sendiri, bahwa ada warisan kekuasaan lokal yang dibangun bukan di atas pengabdian, melainkan kekerasan.
Satu generasi setelah sistem tanam paksa mulai merosot, pengakuan ini menjadi penting. Ia menunjukkan bahwa elite bumiputra tidak sepenuhnya korban kolonialisme; seringkali mereka juga komprador yang bersekongkol dengan sistem penindasan untuk mempertahankan status dan privilese.
Menurut saya ada ironi getir dari naskah ini, di mana di satu sisi, memuliakan nenek moyang sebagai tokoh sakti dan pembangun kekuasaan; di sisi lain, ia membeberkan perangai busuk sebagian dari mereka dalam menindas rakyatnya sendiri. Sehingga seperti dalam suasana pasca-tanam paksa, naskah ini memberikan gambaran atau testimoni ganda antara rasa bersalah dan pembelaan.
Sadar Sejarah
Bagian akhir naskah menyuguhkan silsilah panjang dari Prabu Ciung Wanara, Prabu Siliwangi, hingga Adipati Aria Koesoemaningrat. Total 24 generasi disebutkan, membentang dari masa kerajaan Hindu-Buddha, Islamisasi, hingga zaman kolonial.
Pada kerangka ini, sejarah tidak dibaca sebagai linearitas progresif, tetapi sebagai jaringan darah yang terus hidup, melampaui catatan Belanda maupun modernitas Indonesia. Ini adalah sejarah yang berdenyut dalam tubuh, bukan sekadar angka tahun. Warisan seperti ini juga harus ditantang.
Editor : Agus Warsudi
Artikel Terkait