Catatan Bangsawan tentang Sejarah Cianjur, dari Tahayul ke Tanam Paksa

Agus Warsudi
Saep Lukman, penulis. (FOTO: ISTIMEWA)

Mengapa? Karena bila tidak dibarengi dengan kesadaran kritis, maka silsilah bisa menjadi pembenaran status quo, bisa menjadi alasan untuk terus menganggap diri elite, bahkan setelah rakyat yang dahulu diperas kini hidup dalam kemiskinan struktural.

Studi kritis seperti yang dilakukan oleh Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888 (1966) menunjukkan bahwa akar perlawanan rakyat bukan hanya pada penindasan kolonial, tetapi juga pada kebuntuan budaya feodal yang tidak membuka ruang gerak baru. 

Dengan demikian, pembacaan ulang terhadap silsilah Bupati Cianjur harus disertai semangat pembaruan: bahwa darah tidak selalu menjadi pembenar, bahwa etika dan kerja nyata hari ini lebih penting dari siapa nama leluhur kita.

Tidak semua hal yang kita warisi dari masa lalu harus ditolak. Namun, tidak semua juga harus diterima sebagai kebenaran mutlak. Kisah Djin, Badak Putih, hingga kutukan agar tidak menikah dengan orang Tjikembar, perlu dibaca sebagai arsip simbolik, bukan sebagai hukum tak tertulis yang membelenggu nalar.

Dalam Polarising Javanese Society (2007), M.C. Ricklefs, menyebutkan, proses Islamisasi dan modernisasi di Jawa abad ke-19 justru menimbulkan ketegangan antara yang sakral dan yang rasional. Inilah momen di mana elite lokal diuji: apakah mereka mampu mengkonversi mitos menjadi moral, atau justru terjebak dalam tahayul yang membuat mereka kehilangan relevansi?

Editor : Agus Warsudi

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2 3 4 5 6 7

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network