Kita harus menantang tahayul, bukan untuk menihilkan makna simboliknya, tapi agar ia tidak menjadi penghalang bagi etika baru: bahwa pemimpin harus lahir dari kualitas, bukan dari jejak gaib.
Bahwa pusat kekuasaan tidak boleh lagi diletakkan pada “pengoepakan badak”, tetapi pada partisipasi rakyat dan transparansi kekuasaan. Sehingga dengan menyatukan naskah 1857, data kolonial, dan bacaan ilmiah modern, kita bisa menyusun ulang sejarah lokal Cianjur sebagai narasi yang berlapis dan terbuka.
Sebuah sejarah yang tidak hanya memuliakan elite, tapi juga menyuarakan rakyat. Sejarah yang tidak hanya mencatat pertapaan, tapi juga derita para kuli kopi. Sejarah yang tidak hanya mencatat perkawinan dengan jin, tapi juga perkawinan antara kesadaran lokal dan semangat zaman.
Yakni sejarah yang bisa mengajarkan para pemimpin masa kini, tentang kekuasaan yang adil dan amanah serta mensejahterakan, yang bertahan dalam penghormatan karena ditopang oleh kejujuran dan kepedulian yang dapat diwariskan.
Penutup
Naskah ini telah berbicara. Bukan sebagai dongeng, tapi sebagai cermin: kita melihat wajah nenek moyang, kekuasaan yang membusuk, cinta yang dibungkam, rakyat yang terluka, dan djin yang terus bergentayangan dalam pikiran kita.
Editor : Agus Warsudi
Artikel Terkait