Di sisi lain, Agrinas kini berhadapan dengan dua gugatan hukum yang memperkuat dugaan lemahnya posisi hukum perusahaan. Gugatan pertama diajukan oleh masyarakat adat dari tujuh desa di Kecamatan Simangambat, Sumatera Utara, yang menilai Agrinas telah mengabaikan kewajiban pembangunan kebun plasma sebesar 20 persen dan menggugat ke Pengadilan Negeri Padangsidimpuan.
Gugatan tersebut dilayangkan karena masyarakat beranggapan bahwa perusahaan tidak menjalankan pola kemitraan sesuai ketentuan. Dalam proses hukum, Iskandar menyebut tim hukum Agrinas tidak mampu membuktikan bahwa kewajiban tersebut telah dijalankan. Salah satu aspek krusial yang akan menjadi perhatian pengadilan adalah tidak adanya dokumen perencanaan pembangunan kebun masyarakat, sebagaimana diwajibkan dalam Permentan No. 98 Tahun 2013 Pasal 11.
“Kelemahan utama, tim hukum dan teknis Agrinas tidak memahami substansi kewajiban plasma. Tentu dalam sidang mereka tidak akan mampu membawa bukti izin usaha, dan gagal menjelaskan status hukum penguasaan lahan,” ungkapnya.
Gugatan lain muncul dari Riau, berkaitan dengan pengelolaan lahan eks Duta Palma yang disebut-sebut dilakukan tanpa kejelasan izin serta tidak disertai pelaksanaan kebun plasma. Iskandar menyayangkan pola lama korporasi sawit swasta yang justru diikuti oleh BUMN ini.
“Kelemahan utama, meski membawa nama BUMN, Agrinas tidak memiliki laporan transparansi pengelolaan lahan eks Duta Palma, tidak ada publikasi rencana kemitraan, dan tidak ada pelibatan masyarakat lokal secara resmi,” ujar Iskandar.
Menurutnya, dua perkara ini menunjukkan adanya kekosongan dalam kesiapan teknis dan manajerial perusahaan, serta lemahnya kompetensi hukum di lapangan. Dirut Agrinas sendiri dalam forum DPR telah mengakui adanya kendala internal, terutama dalam pemahaman terhadap aspek hukum kehutanan dan perkebunan.
Editor : Abdul Basir
Artikel Terkait