Kekhawatiran ini semakin kuat setelah IAW melakukan analisis terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI selama 20 tahun terakhir. Temuan menunjukkan bahwa banyak perusahaan sawit nasional kerap melanggar ketentuan plasma, dan kondisi serupa berisiko terulang oleh Agrinas jika tidak ada perbaikan.
Laporan BPK dari 2004 hingga 2024 menunjukkan keterlambatan realisasi plasma antara 7,8 hingga 10 tahun. Pengawasan hanya dilakukan pada 12 persen perusahaan, dan sekitar Rp 2,3 triliun dana kemitraan ditemukan bermasalah. Selain itu, 45 persen lahan plasma belum bersertifikat, sementara program pembinaan teknis tidak berkelanjutan pada 78 persen perusahaan, dan hanya 34 persen daerah yang memiliki kapasitas pengawasan memadai.
“Perusahaan-perusahaan besar seperti Sinar Mas, Wilmar, Torganda, Musim Mas, Astra Agro, dan Surya Dumai sudah tercatat dalam LHP BPK sebagai pelanggar sistemik plasma. Ironisnya, Agrinas kini menunjukkan gejala serupa, padahal membawa mandat negara!” ucap Iskandar.
Lebih jauh, ia menyebut bahwa pelanggaran yang dilakukan Agrinas masuk dalam kategori mal-administration by state proxy, yaitu pelanggaran oleh institusi negara yang seharusnya menegakkan aturan. Permintaan Inpres dianggap menjadi cermin dari kegagalan menjalankan prosedur hukum formal sebagaimana tertuang dalam PP No. 104 Tahun 2015.
“Inpres, secara hukum administrasi, bukan sumber hak, hanya perintah koordinatif. Artinya, sekalipun Inpres keluar, tanpa SK pelepasan kawasan hutan dan izin HGU, status hukum Agrinas tetap sementara,” tegas Iskandar.
Ia menilai posisi hukum Agrinas sangat rentan, terlebih dengan munculnya dua gugatan yang memperlihatkan celah hukum yang belum ditutup.
Editor : Abdul Basir
Artikel Terkait